Jumat, 09 Desember 2011

Sejarah Nasional Indonesia adalah Sejarah Islam

Sudah menjadi permakluman bersama di manapun, termasuk di Indonesia, sebuah pengajaran “Sejarah Nasional” ditujukan untuk meyakinkan warga negaranya bahwa negara yang  menjadi tempat hidup mereka adalah sebuah negara yang sah dan layak untuk diberi dukungan sepenuhnya. Pembelaan dan dukungan terhadap negara  atau “nasionalisme” merupakan buah yang ingin diperoleh dari pengajaran sejarah.
Di Indonesia keinginan ini terlihat dalam kurikulum pengajaran sejarah sejak pelajaran sejarah Indonesia ditetapkan sekitar tahun 1950-an. Terakhir, dalam standar isi pelajaran yang diterbitkan BNSPI (Badan Nasional Standarisasi Pendidikan Indonesia) melalui Kepmen No. 22 tahun 2006 disebutkan tujuan pengajaran sejarah antara lain untuk: menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang; dan menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.  (tujuan pelajaran sejarah untuk SMA no. 4 dan 5).
Tujuan seperti di atas memang wajar dikehendaki oleh suatu Negara. Akan tetapi, dalam kasus Indonesia, yang menjadi persoalan justru pada perumusan apa yang dimaksud dengan “Indonesia”. Isi pelajaran sejarah Indonesia yang semestinya dapat menjawab pertanyaan tersebut selama ini ternyata gagal memberikan makna ke-Indonesia-an bagi seluruh warga bangsa. Makna “Indonesia” yang diciptakan dalam buku-buku pelajaran sejarah justru  mengesankan permusuhan bagi sebagian kelompok di negeri ini.
Contoh yang paling nyata adalah mengenai peran Islam dan umat Islam dalam pembentukan Indonesia. Dalam standar kompetensi dan komptensi dasar yang dibuat BNSPI, peran Islam hanya dibahas di kelas XI Semester 1 sub bagian 1.3 dan 1.4 setelah penjelasan mengenai Hindu-Budha pada sub-bagian 1.1 dan 1.2. Pembahasannya diletakan di bawah bagian analisis  perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara tradisional.
Di kelas XI Semester 2, secara atraktif dan panjang lebar dibahas mengenai pengaruh Barat dan sejarah dunia pada perkembangan Indonesia. Selanjutnya di kelas XII semester 1 dan 2, peristiwa-peristiwa yang  telah diceritakan kemudian dibingkai dengan pengaruh Barat. Sedangkan peran Islam dan umat Islam  tidak terlalu banyak disinggung, baik pada periode kolonial, kebangkitan nasional, perjuangan kemerdekaan,  ataupun pada saat perumusan konstitusi jaman pra-Orde Baru yang sangat kental pertentangan ideologinya (baca: Islam vs nasionalis-sekuler).
Setting kurikulum semacam ini seolah mengisyaratkan bahwa setelah era kerajaan-kerajaan Islam sebagai kekuasaan tradisional,  tidak ada lagi kisah tentang “Islam”. Kalaupun beberapa kisah organisasi Islam diselip-selipkan, seperti keberadaan Sarekat Islam, Masyumi, Muhammadiyah, NU, dan PPP,  sama sekali tidak mengisyaratkan adanya peran “Islam” bagi bangsa Indonesia. Seolah-olah keberadaan organisasi-organisasi Islam ini hanya menjadi pelengkap penderita dalam Indonesia baru yang ‘dimenangkan’ oleh kaum nasionalis-sekuler, baik secara politik maupun kebudayaan. Sekalipun mereka Muslim, tetapi mereka sudah setuju dengan Indonesia yang sekuler!
Perhatikan bagaimana momen-momen dalam pembentukan Indonesia diabaikan tanpa makna seperti terumuskannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan perdebatan 18 Agustus 1945 yang akhirnya melahirkan Pancasila sebagai dasar negara. Kurikulum kita seolah ingin mengubur ingatan bangsa, bahwa perdebatan yang muncul saat Indonesia hendak berdiri adalah perdebatan yang didorong oleh pemikiran keagamaan, dalam hal ini Islam. Bagaimana akhirnya kompromi dicapai justru bukan antara kelompok sekuler vs sekuler, melainkan antara kelompok sekuler vs kelompok Islam. Bahkan bila ditelisik, kompromi ini mengarah kepada diakomodasinya kepentingan umat Islam secara luas seperti tercermin dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Lebih mengkhawatirkan lagi, pada saat menceritakan peristiwa-peristiwa pembangkangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok agama, justru menohok Islam. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) disebut secara terang-terangan tanpa penjelasan memadai  mengenai konteks politik kemunculannya sehingga ditemukan kewajarannya. Demikian pula pada kasus PRRI yang banyak didukung oleh mantan aktivis Masyumi. Padahal, baik Kartosuwiryo maupun aktivis Masyumi yang tergabung dalam PRRI seperti M. Natsir, adalah para tokoh yang berdarah-darah mendirikan dan memperjuangkan  Indonesia. Akan tetapi, setting kurikulum saat ini justru memojokkan Kartosuwiryo dan M. Natsir sebagai “penjahat” karena dianggap terlibat dalam gerakan “pemberontakan”, tanpa  analisis mendalam untuk mendudukan secara adil posisinya dalam sejarah.
Disadari ataupun tidak, kurikulum tersebut telah memposisikan Islam yang menjadi anutan mayoritas penduduk Indonesia sebagai trouble maker. Islam tidak dilihat sebagai unsur terpenting dalam pembangunan bangsa. Padahal sepanjang sejarah modern Indonesia;  baik secara budaya, sosial, ekonomi, maupun politik; peran Islam dan umat Islam begitu besar dalam memperjuangkan, mendirikan, memepertahankan, dan membangun bangsa ini. Pada saat yang sama,  anasir-anasir sekular- baik dalam wujud ide maupun gerakan-  justru dianggap sebagai pihak yang paling “benar” dan paling berhak atas Indonesia.
Dengan pola kurikulum seperti itu, secara halus siswa seolah diajarkan bahwa menjadi Islam tidak bisa bersamaan menjadi “Indonesia” karena Islam di Indonesia adalah pengacau, pemberontak, dan bahkan teroris. Umat Islam yang ingin menjadi muslim yang kâffah justru termajinalkan dan tersingkir dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga negara perlu melakukan intropeksi diri apabila kemudian bermunculan gerakan-gerakan berjejaring internasional- yang mengatasnamakan Islam- dan tidak terlampau senang untuk sepenuhnya menjadi Indonesia. Bila jaman Muhammad Yamin, menjadi Indonesia berarti harus ke-Hindu-Hindu-an,  sementara sejak  era Suharto hingga saat ini,  menjadi  Indonesia   berarti harus menjadi “sekuler”.
Nasionalisme Indonesia yang dibangun di atas nilai sekularisme akan sangat  merugikan bangsa ini. Sekularisme tidak pernah memberikan nilai terdalam bagi tindakan seseorang. Ujung dari sekularisme hanyalah pragmatisme kebendaan. Oleh sebab itu, tidak heran bila kemudian lahir generasi-generasi pragmatis “tanpa nilai” yang hanya peduli dengan Indonesia bila secara materi menguntungkan. Bila tidak, tanpa rasa menyesal mereka akan katakan, Go to hell Indonesia!,  kemudian menghalalkan berbagai cara untuk  memperkaya diri walaupun harus mengeksploitasi kekayaan negeri ini dan  mengorbankan kepentingan bangsanya.
Sekularisme juga telah membuka kotak Pandora hubungan antar-agama di Indonesia. Setelah sekularisme ditahbiskan menjadi dasar, mau tidak mau, hubungan antar-agama pun harus didefiniskan mengikuti selera sekuler. Pluralisme yang berakar pada tradisi filsafat perennial  kemudian menjadi pilihan. Filsafat perennnial sangat bertentangan dengan doktrin atau kepercayaan umat beragama dalam meletakkan posisi agama mereka. Maka tidak mengherankan bila pluralisme-sekuler mendapat tentangan keras dari berbagai tokoh agama. Representasi mayoritas pemimpin Muslim di MUI  kemudian harus turun tangan mengeluarkan fatwa haram Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme pada tahun 2005. Sesungguhnya, apabila akar kebudayaan bangsa ini dikembalikan pada fakta dan realitas bahwa  Islam sebagai way of life, telah terbukti  mampu menorehkan tinta emas  dalam sejarah peradaban Indonesia dan dunia, tentulah hal-hal seperti di atas tidak perlu terjadi.  Keberadaan Islam sebagai kekuatan mayoritas di negeri ini pun akan menjadi  konstruktif dalam membangun makna ke-Indonesiaan sehingga tidak perlu lagi berbenturan dengan masalah keyakinan. Dengan begitu, Islam akan tampil sebagai kekuatan raksasa yang diharapkan mampu menjadi penopang utama pembangunan bangsa ini.
Sudah saatnya kita mendefinisikan kembali makna “keindonesiaan” dengan menyertakan unsur terpenting dalam sejarah Indonesia, yaitu Islam. Islam sebagai tata nilai dan agama yang dianut mayoritas bangsa ini, harus ‘dibunyikan’  lebih nyaring daripada Sekularisme yang sama sekali tidak memiliki akar dalam tradisi dan budaya Indonesia. Bukankah sekularisme yang datang ke negeri ini adalah anak kandung dari “kolonialisme” yang justru kita caci bersama sebagai salah satu faktor yang membuat bangsa ini sengsara ? Lalu mengapa induknya kita tolak, tapi turunannya kita biarkan hidup? Wallâhu A‘lam.  

Liberalisme dan Feminisme

Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?
Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).
Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).
***
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.
Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Selain karena arus wacana politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal.
Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam.

Rabu, 07 Desember 2011

POSISI MUHAMMADIYAH TETAP ANTI TBC DAN SEPILIS

Oleh: Dr. Adian Husaini (Pakar pemikiran Islam, Mantan Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah)
Selama bulan Ramadhan 1430 Hijriah, sejumlah diskusi tentang Muhammadiyah digelar di berbagai tempat. Beberapa diantaranya sempat saya hadiri. Pada 5 September 2009 saya menghadiri diskusi yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta. Diskusi itu membahas topik Muhammadiyah antara Serbuan Fundamentalisme dan Liberalisme. Pada 10 September 2009, kembali saya menghadiri diskusi tentang Muhammadiyah dan Wahabi di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta.
Menyusul terjadinya bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, wacana tentang RADIKALISME keagamaan kembali mencuat. Radikalisme dianggap sebagai biang keladi munculnya terorisme. Orang menjadi teroris, menurut pendapat ini, karena dia beragama secara radikal. Maka, supaya tidak menjadi teroris, dilakukanlah proses “deradikalisasi”. Diskusi tentang masalah ini semakin marak, setelah mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono secara terbuka menunjuk paham Wahabi dan Ikhwanul Muslimin sebagai paham keras yang ada kaitannya dengan aksi terorisme.
Kebetulan, Hendropriyono juga baru saja lulus doktor di Universitas Gadjah Mada. Dalam disertasi doktornya di Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Terorisme dalam Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional.” AM Hendropriyono antara lain menulis: “Fundamentalisme yang diusungnya (al-Qaidah) hanya ingin menegaskan otoritas keagamaan yang bersifat holistik dan mutlak… bahkan Islam Indonesia menilai ancaman yang sangat berbahaya adalah mengidentifikasi Islam dengan fundamentalisme atau ideologi keras ala Wahabi atau Ikhwanul Muslimin…” (hal. 4).
Lebih jauh Hendropriyono juga menulis: Karenanya Gus Dur dan NU menyerukan perlawanan terhadap gerakan garis keras Wahabi yang sudah melakukan infiltrasi dan terus kembangkan sayapnya di Indonesia… adapun Wahabi yang secara intelektual dinilai marginal berkembang menjadi signifikan bukan karena pemikirannya, tetapi karena kekuasaan Raja Ibn Saud dan penerusnya. NU menolak ideologi dan gerakan ekstrim bersifat trans-nasional tersebut. (hal. 5)… Din Syamsuddin keluarkan keputusan No. 149/kep/I.0/B/2006, agar Muhammadiyah bebas dari paham, misi, politik dari luar.” (hal. 5).
Di tengah tekanan politik dan opini global semacam itu, maka sebagian kalangan Muslim berusaha “menyesuaikan diri”. Sejumlah negara dan LSM Barat kemudian juga menawarkan dana untuk proses de-radikalisasi Islam. Tentu saja, di tengah kesulitan ekonomi yang melanda bangsa Indonesia, dana-dana itu terlalu menggiurkan untuk ditolak oleh sebagian kalangan. Sejumlah organisasi dan tokoh Islam lalu meluncurkan pernyataan, bahwa mereka adalah muslim moderat. Mereka tidak termasuk radikal dan tidak termasuk juga liberal. Dalam berbagai artikel, saya sudah mengusulkan, agar perkataan radikal diganti dengan istilah “ekstrim”, sebab kata “ekstrim” memang ada padanannya dalam Islam, yaitu tatharruf atau ghuluw. Keduanya, berarti tindakan yang melampaui batas-batas syariat Islam.
Tidak dapat dipungkiri, ada sebagian kalangan Muslim yang bersikap ekstrim dalam memahami dan menjalankan agamanya. Ada yang dengan mudah mengkafirkan orang Islam lain, hanya karena perbedaan masalah furu’iyyah. Orang yang terlibat dalam pemilu, meskipun dengan niat untuk memperjuangkan Islam, dicap sebagai kaum musyrik. Tapi, ada juga kelompok – biasanya menyebut dirinya liberal – yang tidak mau lagi membedakan antara mukmin dan kafir. Bagi kelompok ekstrim jenis ini, semua agama sama saja. Baik beragama Islam atau beragama apa saja, dia pandang sama saja. Yang penting baginya adalah “agama kemanusiaan”. Padahal, dalam Al-Quran jelas-jelas dibedakan antara orang mukmin dan orang kafir. Orang mukmin disebut sebagai “khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk); sedangkan orang kafir disebut “syarrul bariyyah” (seburuk-buruknya makhluk).
Dalam diskusi di PW Muhammadiyah Yogya ketika itu, saya menyampaikan, agar kaum Muslim – khususnya warga Muhammadiyah – menyadari makna hakiki dari ad-Dinul Islam yang berbeda dengan segala agama yang eksis saat ini. Islam bukanlah agama budaya yang ajarannya tunduk kepada kondisi budaya setempat. Perbedaan hakikat Islam dengan agama lain inilah yang menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang memiliki ritual yang tidak berkembang sepanjang zaman. Keyakinan akan kebenaran dan keunikan Islam ini sama sekali tidak membenarkan kaum Muslim untuk bersikap tidak toleran terhadap pemeluk agama lain. Kaum Muslim pun juga diminta menghormati keyakinan agama lain, meskipun keyakinan mereka juga mengklaim kebenaran atas ajaran agama mereka sendiri.
Jika kita mencermati sejarah pendirian Muhammadiyah, tampak, bahwa dengan berdasarkan keyakinan terhadap Islam yang sangat kokoh itulah, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah1330 H atau 18 November 1912 M. Menurut Alwi Shihab, dalam bukunya Membendung Arus, Muhammadiyah didirikan sebagai respon terhadap (1) praktik keagamaan yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam, (2) gerakan Kristenisasi dan (3) gerakan Free Mason. (Lihat, Alwi Shihab, Membendung Arus: Repons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (1998).
Jadi, sejak awal, Muhammadiyah bukan hanya peduli pada soal takhayul, bid’ah dan khurafat, tetapi juga sadar akan tantangan Kristenisasi dan liberalisasi yang diusung oleh Freemason. Kelompok terakhir ini terkenal dengan jargonnya: liberty, egality, dan fraternity. Freemason mulai beroperasi di Indonesia tahun 1764 dan dibubarkan oleh Bung Karno pada tahun 1961. Organisasi inilah yang rajin menggelorakan semangat dan slogan “Freedom” di berbagai penjuru dunia.
Sejak awal pendiriannya, Muhammadiyah sadar benar akan tantangan semacam itu. Maka, hingga saat ini, dengan keyakinan yang kuat itulah, warga Muhammadiyah – melalui Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah, menyatakan, bahwa “Muhammadiyah berasas Islam” (pasal 4). Sedangkan tujuan organisasi atau persyarikatan Muhammadiyah adalah tegas dan lugas: “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” (pasal 6).
Dari Anggaran Dasar Muhamadiyah sendiri, dapat ditarik sejumlah pokok pikiran/prinsip/pendirian, yaitu (1) Hidup manusia harus berdasar Tauhid (meng-Esakan) Allah; beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada Allah. (2) Hidup itu bermasyarakat. (3) Hanya hukum Allah yang sebenar-benarnyalah satu-satunya yang dapat dijadikan sendi untuk membentuk pribadi yang utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (masyarakat) dalam menuju hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki, di dunia dan akhirat. (4) Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah berbuat ihsan dan islah kepada manusia/masyarakat. (Pokok pikiran keempat ini dirumuskan dalam Muqaddimah AD Muhammadiyah sebagai berikut: Menjunjung tinggi hukum Allah lebih dari pada hukum yang manapun juga adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku bertuhan kepada Allah. Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia dunia dan akhirat). (5) Perjuangan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, hanyalah akan dapat berhasil bila mengikuti jejak (ittiba’) perjuangan para nabi terutama perjuangan Nabi Muhammad saw. (6) Perjuangan mewujudkan pokok pikiran tersebut hanyalah akan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan berhasil, bila dengan cara berorganisasi. Organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan sebaik-baiknya.
Kuatnya visi dan misi keislaman Muhammadiyah dapat disimak dalam dokumen penting dalam Muhammadiyah yang disebut “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah”, yang antara lain menegaskan:
1. Muhammadiyah adalah Gerakan berasas Islam, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad saw, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: al-Quran dan Sunnah Rasul.
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: aqidah, akhlak, ibadah, muamalah duniawiyat. (Penjelasan: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan churafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam…).
5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfilsafat Pancasila, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhai Allah SWT.
Demikianlah sekilas gambaran tentang Muhammadiyah. Apakah Muhammadiyah ada hubungannya dengan Wahabi? Tidak dapat dipungkiri, bahwa Gerakan Pembaruan di Timur Tengah, terutama yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran dan gerakan pendiri Muhammadiyah KH A. Dahlan. Rasyid Ridha sendiri juga banyak memberikan pembelaan terhadap pemikiran dan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang oleh para seterunya dicap sebagai pembawa paham Wahabi.
Di Indonesia, salah satu buku yang banyak dijadikan rujukan di Indonesia dalam mendeskripsikan apa itu Wahabi, adalah karya Prof. Dr. Harun Nasution, yang berjudul Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003, cet. Ke-14). Dalam buku ini dijelaskan seputar gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad Abd Wahhab (1703-1787), sebagai berikut:
1. Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain dari Tuhan telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik.
3. Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik.
4. Meminta syafaat selain kepada Tuhan juga syirik.
5. Bernazar kepada selain dari Tuhan juga syirik.
6. Memperoleh pengetahuan selain dari Alquran, Hadits dan qiyas (analogi) merupakan kekufuran.
7. Tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
8. Demikian pula menafsirkan Alquran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur. (hal. 15-17)
Sayangnya, buku Prof. Harun Nasution ini sama sekali tidak menyebutkan rujukan dari satu pun karya Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri. Cara penilaian terhadap Wahabi semacam ini tentu saja tidak fair dan tidak ilmiah. Sebuah buku yang baik dalam menyajikan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab disusun oleh Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim. Buku itu diberinya judul al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah. Buku yang merupakan kumpulan karya dan surat-surat Muhammad bin Abdul Wahhab ini menghimpun berbagai jawaban sang tokoh terhadap tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri tidak pernah menamai ajarannya sebagai paham “Wahabi”. Orang-orang di luar dirinya yang memberikan nama itu. Beliau sendiri mengaku sebagai pemeluk mazhab Hanbali, sama dengan tokoh sufi Abdul Qadir al-Jilani. Buku-buku ilmiah tentang Wahabi perlu dikaji dengan serius agar tidak mudah memberikan gambaran yang keliru tentang paham Wahabi. Kita boleh saja berbeda tentang beberapa hal dengan mazhab atau kelompok lain. Tetapi, selama perbedaan itu masih dalam batas-batas keislaman, seharusnya di antara sesama Muslim terjalin sikap saling menghormati dan menghargai. NU dan Muhammadiyah, misalnya, adalah dua organisasi Islam yang sama-sama menegaskan komitmen kepada penegakan Islam. Perbedaan diantara keduanya masih dalam batas-batas furu’iyyah.
Di tengah dominasi paham sekularisme, liberalisme, materialisme, hedonisme, dan sebagainya, sebagai salah satu pengurus Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, saya hanya sempat berbagi harapan dengan sesama warga Muhammadiyah, bahwa yang terpenting saat ini, seluruh jajaran Muhammadiyah bersungguh-sungguh dan tetap istiqamah dalam merujudkan tujuan Muhammadiyah, yaitu: “MENEGAKKAN DAN MENJUNJUNG TINGGI AGAMA ISLAM SEHINGGA TERWUJUD MASYARAKAT ISLAM YANG SEBENAR-BENARNYA.”.
Dan salah satu pesan KH A. Dahlan kepada warga Muhammadiyah adalah: “Harus bersungguh-sungguh hati dan tetap tegak pendiriannya (jangan was-was).” Juga, pesan Kyai Ahmad Dahlan yang lain, “Jangan sentimen, jangan sakit hati, kalau menerima celaan dan kritikan.” (Catatan: Paparan tentang Muhammadiyah ini dikutip dari buku Ideologi dan Strategi Muhammadiyah karya Drs. H. Hamdan Hambali, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2008, cetakan keempat).
Insyaallah, dengan niat ikhlas dan kesungguhan dalam berjuang di jalan Allah, kita mampu menjaga dan melanjutkan amanah KH Ahmad Dahlan dan seluruh pejuang Islam di tubuh Muhammadiyah lainnya yang telah mempertaruhkan diri, harta, dan lisan mereka dalam upaya mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di bumi Indonesia tercinta ini.

Jumat, 02 Desember 2011

KEBEBASAN BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI

Oleh: Moh. Mahfud MD (Ketua MK RI)

Pendahuluan
            Tidak ada pakar, ahli atau pembicara dalam seminar-seminar yang tidak meyakini atau menolak bahwa UUD 1945 pada dasarnya telah mengakui dan memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Secara eksplisit, soal kebebasan beragama telah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi karena telah diamanatkan oleh UUD 1945. Dua pasal dalam konstitusi menyoal hal tersebut. Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan konstitusi telah menjamin kebebasan beragama sebagai prinsip yang sah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi nyata bahwa negara dalam kondisi apa pun, tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik setiap warga negara. Dari sudut ini, kebebasan beragama sudah absolutely clear.
Di Indonesia, pergeseran rezim otoritarian menuju demokrasi jelas menjadi kabar sedap bagi kebebasan beragama, berekspresi dan berasosiasi. Namun, sejauh ini selalu saja bermasalah dalam implementasinya. Bahkan, ketika pemerintahan sudah terbentuk melalui mekanisme demokratis, ternyata belum berdaya mengurangi intensitas problem kebebasan beragama. Malah, Indonesia divonis sebagai pelaku diskriminasi dalam beragama, khususnya terhadap agama minoritas. Secara kasat mata, diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan yang mengakui hanya enam agama resmi.[3] Orang atau komunitas di luar agama resmi selalu menjadi pihak yang dirugikan, termasuk kelompok adat yang masuk kategori tidak beragama.[4] Dalam kenyataan bahwa tanpa menyandang label agama resmi, seseorang akan sulit menerima atau memperoleh pelayanan publik dan hak-hak sipil.[5]
Kasus pelanggaran prinsip kebebasan beragama terus bermunculan. Di tengah arus kencang demokratisasi, pemasungan kebebasan beragama justru makin marak. Aktualisasinya beragam, mulai dari ceramah atau tulisan bernada menghujat kelompok tertentu, penutupan rumah ibadah, aksi bersenjata, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama utama hingga terbitnya fatwa-fatwa keagamaan yang justru dianggap intoleran. Termasuk juga kejadian Nashr Hamid Abu Zayd, Guru Besar Universitas Leiden Belanda asal Mesir, yang dicekal beberapa waktu lalu saat hendak berbicara di Riau dan Malang.[6]
Kenyataan-kenyataan itu menguatkan incompatibilitas jaminan konstitusi atas kebebasan beragama terhadap implementasi dalam kehidupan bernegara. Bagaimana ini terjadi? Fenomena paling mengusik adalah jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia menjadi tidak lebih dari “teks mati” yang lemah dan sulit ditegakkan. Problematika itu ditengarai terkait erat dengan bias tafsir atas pasal-pasal terkait dalam konstitusi. Tafsir yang bias menyaru menjadi justifikasi bagi hampir seluruh peristiwa pelanggaran kebebasan beragama.[7] Kondisi demikian pada gilirannya akan membuat konstitusi yang mestinya bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama, kian kentara rapuhnya. Menukil ucapan Abbe de Sieyes, pakar konstitusi Prancis, konstitusi sebagai hukum tertinggi berisi kewajiban-kewajiban untuk dipatuhi dan dilaksanakan, jika tidak ia tidak akan berarti apapun. Kondisi konstitusi tanpa konstitusionalitas, akan dijumpai dengan segenap eksesnya.
Menyoal kompleksitas masalah kebebasan beragama di Indonesia umumnya akan masuk pada tiga ranah yakni masalah negara, hukum dan masyarakat sipil.[8] Demikian juga tulisan ini, berbicara pada ranah hukum dengan substansi lebih pada eksplorasi perspektif konstitusi sebagai hukum tertinggi negara. Penting mengawali pembahasan melalui penelaahan konsep yang diusung oleh founding people[9] dalam meletakkan prinsip kebebasan beragama melalui jelajah historis. Di samping itu, eksplorasi dan elaborasi terhadap terkait prinsip kebebasan beragama baik dari sudut filosofis, yuridis formal maupun kebijakan hukum dilakukan untuk turut memunculkan berbagai pemikiran yang memungkinkan terciptanya jaminan kebebasan agama dan berkeyakinan sebagaimana dikehendaki konstitusi. Tentu saja, pemikiran yang muncul itu dijauhkan dari alur yang tidak sejalan dengan filosofi ideologi, konstitusi dan kondisi masyarakat Indonesia.

Jelajah Historis
Merunut historisnya, pembahasan mengenai prinsip kebebasan beragama dalam konstitusi, diawali setelah Rapat Besar BPUPKI[10] pada 11 Juli 1945 yang membentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota 19 orang, dan diketuai oleh Soekarno.[11] Sore harinya, Panitia Hukum Dasar menyelenggarakan rapat membicarakan hal-hal pokok yang hendak dituangkan dalam hukum dasar. Atas kebijakan Soekarno, dalam panitia itu dibentuk lagi Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang bertugas menyusun rancangan, Panitia kecil itu beranggotakan 6 orang antara lain Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis, Soepomo, Soekiman dan Agus Salim. Atas usul Wongsonagoro, Soepomo ditunjuk sebagai ketua. Panitia Kecil ini segera bekerja, dan hasilnya sudah diperoleh dalam waktu tiga hari.
Dalam rancangan preambule yang telah dihasilkan sebelumnya oleh Panitia 9[12], ditegaskan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun ke dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada keTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pokok pikiran ke 5 rancangan preambule itu jelas menunjukkan perhatian terhadap keistimewaan penduduk yang beragama Islam, karena memang mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Tetapi kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” sudah dimufakati secara bulat melalui kompromi golongan kebangsaan (nasionalis) dan golongan agama yang ada Panitia 9. Dalam Panitia 9 ini, perbandingan golongan nasionalis dengan golongan Islam sejumlah 5:4. Artinya mufakat telah tercapai dengan sedemikian rupa. Sehingga kemudian, dalam menyusun hukum dasar harus mengacu pada rancangan preambule itu, dan tidak lagi perlu mengadakan perubahan-perubahan.
Atas dasar kompromi sebagaimana dalam rancangan preambule, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, akhirnya secara bulat menerima rancangan hukum dasar Pasal 28 soal agama yang bunyinya:
(1)  Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.[13]
(2)  Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Rancangan Pasal 28 ayat (2) mengundang tanggapan anggota Abdul Fatah Hasan dengan mengatakan sebaiknya kata …”untuk memeluk agama lain” diganti dengan kata “yang memeluk agama lain”, sementara kata “dan” dihilangkan. Jadi bunyi teks itu menjadi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.[14]
Menanggapi itu, Soepomo mengatakan kalau usulan itu membuat makna ketentuan menjadi lebih jelas, Panitia tidak keberatan untuk mengubahnya. Sempat terjadi perdebatan menanggapi usulan itu, ada yang pro pada ketentuan awal, ada yang mendukung usul Abdul Fatah Hasan. Akan tetapi kemudian mufakat tercapai setelah Soepomo memberi rumusan ayat (2) itu menjadi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Bunyi ketentuan ini diterima secara bulat oleh forum, untuk kemudian dibawa ke sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).[15]
Pada sidang pertama PPKI, 18 Agustus 1945, Soekarno selaku Ketua Panitia Hukum Dasar, membacakan rancangan UUD itu pasal demi pasal, untuk dimintakan persetujuan forum. Pasal-pasal lain mengalami perubahan di sana sini, sebelum dicapai mufakat. Sementara Pasal 29 yang dibacakan Soekarno dan kemudian disetujui forum berbunyi, ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayannya itu. Ketentuan Pasal 29 itu termasuk dalam Rancangan UUD hasil kerja BPUPKI yang setelah dilakukan beberapa perubahan akhirnya disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada hari itu juga[16]:
Berdasarkan jelajah historis, beberapa kesimpulan dapat ditarik terkait konsep apa yang diusung founding people. Pertama, pembahasan mengenai kebebasan beragama relatif lancar, artinya tidak dijumpai perdebatan sengit berarti dalam soal substansi.[17] Hal ini menandakan bahwa, boleh jadi pada saat itu telah terdapat kehendak kuat para perancang UUD untuk meletakkan dasar kebebasan beragama di Indonesia. Ada kesamaan visi bahwa kebebasan beragama harus diakomodir dalam konstitusi yang sedang mereka kerjakan, dengan mengingat kondisi bangsa yang memiliki latar antropologis dan kesadaran akan pluralisme atau kebhinekaan. Pluralitas, kemajemukan dan keberagaman terutama soal agama, disadari menjadi penyokong kelahiran sebuah negara baru, Indonesia.
Kedua, meskipun diliputi suasana kebatinan di tengah kenyataan bahwa Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia tetapi kelompok-kelompok Islam tidak berkeinginan sedikitpun untuk mewujudkan hukum yang eksklusif bagi orang Islam sendiri.[18] Founding people justru mengusung konsep yang jauh dari keinginan membatasi kemerdekaan penduduk untuk beragama lain, selain Islam sehingga perlu memberi jaminan dalam konstitusi bagi tiap-tiap penduduk untuk secara merdeka memeluk agama apapun dan beribadat menurut agama serta kepercayaannya masing-masing.[19]
Ketiga, frase ……untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya itu menegaskan bahwa konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diusung founding people mengandung konotasi positif. Artinya, mereka menjamin warga negara untuk memeluk agama dan tidak membuka peluang bagi ateisme atau propaganda anti agama di Indonesia. Ini jelas berbeda dengan pemahaman Sir Alfred Denning mengenai konsep freedom of religion di AS, baik dalam arti positif maupun negatif. Denning mengungkapkan bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama.[20]



Manifestasi Nilai Dasar dalam Konstitusi
Hukum, termasuk juga konstitusi, merupakan jalinan nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk oleh manusia sebagai zoon politicon. Hukum sebagai jalinan nilai dikelompokkan ke dalam nilai-nilai dasar yang sangat abstrak serta nilai-nilai yang lebih konkrit sebagai pedoman bertingkah laku dalam kehidupan masyarakat manusia. Nilai dasar adalah asas yang diterima sebagai dalil yang bersifat mutlak sekaligus diterima sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia sebagai negara memiliki keberagaman luar biasa, namun di balik keberagaman itu terdapat nilai-nilai universal yang berlaku pada semua golongan atau kelompok. Saling menghormati, tolong menolong, sopan santun adalah contoh nilai-nilai yang dianggap baik oleh semua kalangan. Sebaliknya membunuh, mencaci, menganiaya, mencuri, memaksakan kehendak adalah nilai-nilai yang diakui dimanapun sebagai sesuatu yang buruk dan salah. Nilai-nilai dasar umumnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat berupa nilai-nilai agama (ketuhanan) dan nilai-nilai hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.
Di Indonesia, nilai-nilai yang demikian telah menjadi konsensus nasional dalam bentuk lima dasar yaitu Pancasila. Secara historis, Pancasila yang ada dan berlaku merupakan hasil kompromi (modus vivendi) golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam pada 22 Juni 1945. Pancasila itu sesungguhnya hasil karya Panitia Sembilan yang berintikan ide dan dimotori Soekarno dengan hanya mengganti sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Andai saja pada 18 Agustus 1945, PPKI tidak mengubah Mukaddimah UUD yang telah disahkan pada Sidang BPUPKI pada 10-16 Juli 1945, maka pemberlakuan syari’at Islam sebagai sumber hukum formal akan dilakukan tanpa kesulitan.
Mukaddimah UUD yang disahkan BPUPKI memuat Piagam Jakarta sebagai dasar negara yang sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun, khusus menyangkut tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dibatalkan dan diubah oleh Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, sehingga sila pertama dasar negara berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Pencoretan tujuh kata itu meski kontroversial tetapi diterima sebagai blessing in disguised (berkah terselubung) dalam merajut persatuan bangsa.[21] Kompromi ini jelas menunjukkan kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara kebangsaan yang religius dengan menjadikan ajaran agama (tidak hanya Islam) sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan negara.
Pancasila bukan lain merupakan jalinan nilai-nilai dasar kristalisasi berbagai nilai yang hidup (volkgeist) dalam masyarakat bangsa Indonesia. Jalinan nilai-nilai dasar yang tertuang dalam Alenia IV Pembukaan UUD 1945 dijabarkan ke dalam aturan dasar (hukum dasar) dalam bentuk pasal-pasal UUD yang mencakup berbagai segi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Artinya, aturan, norma, hukum dasar dalam UUD merupakan manifestasi yang secara substansi memuat dan mencerminkan nilai-nilai dasar tersebut. Dengan kata lain, pasal-pasal UUD semata-mata berisi nilai-nilai sebagai perincian atas nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila.
Nilai dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, dirinci ke dalam norma, aturan, hukum dasar yang tercermin ke dalam banyak pasal di UUD 1945. Nilai dasar itu tidak semata-mata berdimensi teologis yang mengisyaratkan bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan kepercayaan dan agamanya masing-masing, melainkan juga berdimensi politik. Implikasinya, nilai dasar itu menuntut orang untuk mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tidak memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada orang lain, sebab agama dan kepercayaan adalah hal yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan sebagai Khaliq-nya.
Terkait kebebasan beragama, Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945[22] mencerminkan nilai dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bentuk nilai yang lebih rinci yaitu kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Di sini, beragama dan segenap kemerdekaannya adalah hak setiap manusia. Hak itu merupakan anugerah pemberian Tuhan dan melekat pada diri manusia semata-mata karena dirinya sebagai manusia wajib menyembah Tuhannya. Hak kebebasan beragama dan berkepercayaan merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi sedikit pun (non derogable).
Namun dalam implementasinya tentu tidak bisa seperti di Barat yang sekuler. Implementasi hak asasi manusia di Indonesia harus selaras dengan filosofi, budaya serta struktur kemasyarakatan Indonesia yang notabene religius.[23] Dalam konteks filsafati, pemenuhan hak asasi itu harus selalu berdasarkan kepada asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia. Hak asasi manusia akan terpenuhi manakala manusia juga menunaikan kewajiban asasinya. Dengan kata lain, tegaknya hak asasi manusia ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan hak asasi dengan kewajiban asasi, sekaligus sebagai penunjuk derajat moral dan martabat manusia.[24]
Nilai dasar itu diulang kembali dalam bentuk lebih rinci pada Pasal 29 UUD 1945. Pasal itu menegaskan soal tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan menjalankan ibadah dan kepercayaannya masing-masing warga negara dan penduduk Indonesia. Dalam konteks negara Indonesia yang mengakui posisi penting agama, perlindungan terhadap kebebasan beragama harus dipadukan dengan perlindungan terhadap kemurnian ajaran agama. Hal ini berarti bahwa kebebasan beragama memang dijamin, tetapi kebebasan beragama secara menyimpang tidak dapat dibenarkan. Tanggung jawab negara terhadap agama tidak hanya sebatas memberi perlindungan kebebasan beragama kepada para pemeluk agama, tetapi juga memberikan pelayanan terhadap pemeluk agama dan melindungi kemurnian ajaran agama dari penyelewengan atau penyimpangan.
Setiap warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang berlaku pada agamanya masing-masing. Ritual keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama segenap elemen penganutnya harus turut mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam segala aspeknya, selain harus memperteguh persatuan dan persaudaraan dan bukan malah memicu konflik.[25] Ini sejalan dengan Nathan Lerner yang mengatakan bahwa salah satu hak dalam kebebasan beragama menurut, ialah hak untuk mendirikan dan memelihara harmonisasi individu dan masyarakat, dalam kaitannya dengan persoalan keagamaan dan kepercayaan, baik dalam level nasional dan juga internasional.[26]
Lebih lanjut, nilai dasar dalam pasal di atas harus dimaknai bahwa negara menjamin dan mengatur hubungan antar umat beragama agar tidak mengganggu kehidupan bernegara. Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia tetapi yang lebih pasti, negara berhak pula untuk mewajibkan penganut agama apapun itu, untuk bersatu membangun negara dan bangsa.[27] Oleh karenanya, kebebasan beragama dalam nilai dasar dalam konstitusi, tidak sekedar berkutat pada persoalan apakah agama itu benar atau salah, melainkan termaktub juga kesediaan untuk menghargai dan menerima keberadaan orang lain yang berbeda keyakinan.


Aturan Hukum soal Agama
Terkait kebebasan beragama di Indonesia, problem yang mendapat perhatian adalah pada banyaknya ketentuan perundang-undangan yang bermasalah dilihat dari perspektif kebebasan beragama. Peraturan itu bermasalah, baik karena dinilai bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama maupun karena bertentangan antara dengan yang lain. Karenanya, anakronisme perundang-undangan adalah masalah yang perlu segera diselesaikan. Akan tetapi, harmonisasi maupun sinkronisasi aturan hukum di bidang kebebasan beragama belum ditangani optimal, Padahal, bidang kebebasan beragama, dan hubungan antarumat beragama sangat tergantung pada harmonisasi tersebut.
UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama[28] misalnya, adalah salah satu yang banyak dikritisi. Aturan itu pada pokoknya melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Ketentuan itu jelas mengisyaratkan negara melindungi warga negara Indonesia melalui perlindungan atas penyalahgunaan dan penodaan agama, dan pada saat bersamaan melarang aliran agama lain itu untuk tidak membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional. Aturan itu selain dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan beragama menurut konstitusi, juga dinilai sebagai bentuk intervensi negara yang sebenarnya tidak perlu.
Telah banyak gagasan yang muncul bahwa perihal agama atau penodaan agama tidak perlu diatur oleh negara. Atau dengan kata lain negara tidak semestinya mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Kebijakan pemerintah yang hanya mengakui enam agama membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Malah ada yang berkata kehidupan agama di Indonesia lebih baik bila tanpa negara. Artinya, negara tidak perlu ikut campur mengatur kehidupan beragama sebab negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik. Adnan Buyung Nasution dalam suatu diskusi pernah dengan bersemangat mengecam negara yang mencoba melakukan intervensi ke dalam kehidupan agama. Negara, kata Buyung, tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama tertentu. Argumen yang mendukung gagasan itu, negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin mendirikan agama sendiri, itu tidak bisa dilarang oleh negara. Menurut pendukung gagasan ini ketentuan yang menunjukkan intervensi negara terhadap sebagaimana UU No. 1/PNPS/1965 tidak lagi diperlukan. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat, tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda, dan tidak patut dirampas.
            Namun demikian, yang perlu dipikirkan apakah kondisi tidak adanya pengaturan dari negara lebih menjamin kebebasan beragama itu? Atau bukan malah akan berimplikasi lebih parah? Sebab, tanpa aturan dari negara, akibatnya bukan tidak mungkin tindak-tindak kekerasan justru meruak. Sebab, sensitifitas seseorang terhadap agama sangat besar, terutama ketika agamanya dikritik apalagi ‘dinodai’’. Tidak adanya aturan justru akan membuka peluang lenturnya penafsiran tentang apa yang dikatakan sebagai penodaan agama. Orang akan dengan mudah membuat aturan yang semata-mata disandarkan pada subyektifitas dan menurut ajaran agama masing-masing, dengan standar keyakinan yang tentu berbeda. Akan dengan mudah terjadi fenomena ‘menghukum’ mereka yang dianggap sesat dan atau tidak sesuai mainstream, dengan dalih ‘dan cara-cara yang ‘diperintahkan agama.
Mengingat kondisi itu, alternatif apa yang musti dipilih? Sepakat agar negara tetap berperan mengatur dalam hal beragama dan keyakinan, termasuk melakukan intervensi seperti selama ini atau setuju dengan pendapat yang mengecamnya?
Indonesia adalah negara yang tidak perlu lagi diragukan menerima dan mengakui kebebasan beragama, bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan mengikat. Agar semangat dalam konstitusi itu tetap terjaga, pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama tetap diperlukan. Hanya saja, dalam membuat aturan hukum termasuk aturan soal agama, perlu konsisten mengacu pada Pancasila yang telah menggariskan empat kaidah penuntun hukum nasional. Kaidah-kaidah ini tidak terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum (rechtside) dan harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Kaidah-kaidah penuntun itu antara lain:
Pertama, hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun ideologis. Hukum-hukum di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun ideologi. Kedua, hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Hukum di Indonesia tidak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi juga harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar. Ketiga, membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan negara. Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh yang kuat. Keempat, membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak boleh mengistimewakan atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama. Indonesia bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang tak peduli atau hampa spirit keagamaan). Hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.
Dalam menyusun aturan soal agama, kaidah pertama dan keempat di atas harus diperhatikan, hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa dan pada saat bersamaan membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Harus disadari, agama dalam arti keyakinan merupakan wilayah privat sehingga negara tidak memiliki kewenangan untuk mengaturnya. Sehingga, pengaturan terbatas pada bagaimana masing-masing orang mengekspresikan keyakinannya supaya tidak merugikan atau melanggar hak orang lain. Aturan hukum sebaiknya hanya mengatur kehidupan bersama, interaksi dan interelasi antar warga negara yang berbeda agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Artinya, aturan hukum agama bukan dalam rangka mengatur kegiatan dan kehidupan keagamaan secara individual dan internal komunitas pemeluk agama, apalagi mengatur kegiatan keagamaan yang terkait dengan pengalaman, sakralitas dan ritualitas menurut keyakinan masing-masing agama. Tidak boleh misalnya negara membuat aturan hukum yang mewajibkan sesuatu yang sudah diwajibkan oleh agama, atau sebaliknya, melarang sesuatu yang sudah jelas-jelas dilarang agama.
Agar lebih menjamin terbentuknya hukum soal agama yang sesuai dengan kaidah-kaidah Pancasila, terutama kaidah pertama dan keempat, maka prinsipnya negara boleh membuat pengaturan maupun pembatasan sekalipun terkait dengan kebebasan bertindak atau freedom to act, tetapi tidak dalam soal hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam pengertian freedom to be. Pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama semata-mata dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan bentuk intervensi terhadap kebebasan berpikir dan berkeyakinan.
Selain itu, yang juga penting, elaborasi terhadap makna kebebasan, sebagaimana termuat dalam konstitusi perlu dilakukan. Tujuannya agar pemahaman terhadap kebebasan beragama tidak sempit atau keliru. Mencapai pemahaman yang benar akan menghindarkan diri dari peluang membuat aturan hukum yang justru tidak sejalan dengan Indonesia sebagai Negara Pancasila.
Rincian mengenai kebebasan beragama telah sering dijumpai, salah satunya dalam kovenan toleransi beragama PBB. Dalam kovenan itu, jenis-jenis kebebasan beragama meliputi kebebasan memilih agama, kebebasan pindah agama, kebebasan mendakwahkan agama tanpa paksaan dan manipulasi, kebebasan menikah beda agama, kebebasan mendapatkan pendidikan agama yang berbeda dari agama sendiri, kebebasan berorganisasi berdasarkan agama, dan kebebasan orang tua memberikan pendidkian agama terhadap anak. Artinya, kebebasan beragama, menurut memiliki batasan-batasan yang perlu diperhatikan meliputi keselamatan publik, ketertiban umum, kesehatan, moral dan susila. Dan terpenting, kebebasan beragama tidak boleh mengganggu hak orang lain.
Hal itu sejalan dengan Nathan Lerner yang merinci kebebasan beragama mencakup hak untuk beribadah dan berkumpul sehubungan dengan agama atau keyakinannya, termasuk mendirikan dan memelihara tempat-tempat beribadah, untuk mendirikan dan memelihara lembaga donor untuk kemanusiaan, untuk membuat atau menggunakan tanda-tanda yaitu material yang dikaitkan dengan upacara keagamaan, untuk menulis dan mempublikasikan dan melakukan deseminasi dengan publikasi relevan di wilayahnya masing-masing, memberikan pendidikan dan pengajaran atas anak-anak didik dan penganut, mengumpulkan atau menerima derma sebagai bantuan keuangan, melatih atau memilih menjadi para penyebar agamanya masing-masing dan memberlakukan hari libur untuk istirahat, dan hak untuk mendirikan dan memelihara harmonisasi individu dan masyarakat, dalam kaitannya dengan persoalan keagamaan dan kepercayaan, baik dalam level nasional dan juga internasional.[29]
            Dengan capaian pemahaman yang elaboratif demikian, maka implementasi kebebasan beragama sebagaimana amanat konstitusi tidak bergerak menjadi liar, unproporsional, dan mengukuhkan politik identitas melainkan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Sebab, jangan sampai pemaknaan yang tidak tepat terhadap kebebasan beragama justru menjadi rongrongan bagi demokrasi, khususnya demokrasi konstitusional yang dengan berpeluh-peluh terus diikhtiarkan di Indonesia.

*****






Bahan Bacaan

Ahmad Suaedy, et.al., Islam, konstitusi, dan Hak Asasi Manusia : Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, Wahid Institute, Jakarta, 2009.


A Qodri Azizy, Hukum Nasional, Ekletisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, Teraju Mizan, Bandung, 2004.

Eka Damaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.
Jawahir Thontowi, Hak Konstitusional Perda Syariat Islam, Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panel "Pro dan Kontra PERDA Syariah", diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Agama Islam-Magister Studi Islam UII, pada Sabtu, 20 Agustus 2006 di Kampus FIAI UII, Yogvakarta.

Laporan tentang Tingkat Kebebasan Beragama Internasional (International Religious Freedom Report) Tahun 2004, 2007 dan 2008, yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.


Lukman Hakim Saefuddin, Indonesia adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009.

Mohammad Noor Syam, Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan dalam Konggres Pancasila yang diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1 Juni 2009 di Kampus UGM, Yogyakarta.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.

______________, Pengembangan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Makalah dalam Seminar Nasional Formalisasi Syari’ah dalam Konteks Keindonesiaan: Tinjauan Multi Disipliner, diselenggarakan dalam rangka Setengah Abad Universitas Islam Bandung, Bandung, 28 Agustus 2008.

_______________, Pancasila sebagai Hasil Karya dan Milik Bersama, Makalah Pelengkap atas naskah Keynote Speech pada Konggres Pancasila yang diselenggarakan dalam bentuk kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 30 Mei 2009.

RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004

Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi, Makalah yang disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 -11 Juli 2008.




[1] Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan  Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
[3] Tidak ada keputusan resmi pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi kecuali hanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Surat Edaran Mendagri itu seharusnya hanya berisi petunjuk tehnis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk tindasan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri. 
[4] Misalnya Dayak Kaharingan di Kalimantan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, Komunitas Sunda Wiwitan di Jawa Barat, dan lain-lain, hanya karena keyakinan adat mereka berbeda dengan mainstream mayoritas, banyak mengalami tekanan sosial maupun hambatan-hambatan dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Seperti misalnya setiap anak yang lahir tidak bisa memperoleh akte kelahiran, pernikahan tidak bisa dicatatkan, KTP tidak diberikan. Semua itu disebabkan karena mereka memegang adat yang telah turun-temurun di kalangan mereka. Dikalangan penghayat kepercayaan diskriminasi dialami sejak proses pengurusan akte kelahiran sampai akte kematian, bahkan sampai pemakaman..
[5] Laporan tentang Tingkat Kebebasan Beragama Internasional (International Religious Freedom Report) Tahun 2004 yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Data dibuat dalam dalam rentang 1 Juli 2003 sampai dengan 30 Juni 2004 itu menunjukkan Asia mendominasi negara yang tingkat kebebasan beragamanya rendah. Laporan serupa di tahun 2007 masih menyatakan bahwa pelanggaran dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia masih kerap terjadi dan aksi kekerasan atas nama agama belum berhenti. Laporan itu menyebutkan beberapa faktor yang mendorong munculnya diskriminasi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Di antaranya kurang tegasnya pemerintah dan tak adanya keinginan untuk mengubah situasi tersebut. Dalam beberapa kasus, pemerintah malah membiarkan atau mendiamkan saja kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama..
[6] Nashr Hamid diundang ke Indonesia atas kerjasama Universitas Leiden dan Departemen Agama, namun dicekal ketika ia sudah sampai di Surabaya. Bagi Nashr Hamid peristiwa pencekalan ini merupakan kali kedua harus berhadapan dengan kaum fundamentalis. Pertama, pada 1995 ketika Nashr dijatuhi hukuman murtad oleh pengadilan Mesir, dan harus hijrah ke Belanda. Kedua di Indonesia, negeri yang oleh Nashr di sanjung-sanjung dalam setiap seminar internasional karena masyarakatnya dikenal toleran dan moderat.
[7] Pada 2008, SETARA Institute mencatat 367 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam 265 peristiwa, lihat Laporan Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2008 yang dipublikasikan oleh SETARA Institute.
[8] Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi, Makalah yang disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 -11 Juli 2008.
[9] Para pendiri negara biasanya disebut dengan founding fathers, namun agaknya sebutan itu kurang tepat karena seakan-akan hanya mengakui bapak-bapak pendiri, padahal dalam kenyataannya anggota BPUPKI dan/atau PPKI ada juga kaum perempuannya sehingga sebutan founding people menjadi lebih obyektif.
[10] Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya kata Indonesia semula tidak ada karena nama aslinya adalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan. Tetapi dalam berbagai studi dan pernyataan resmi penambahan kata Indonesia itu diterima sehingga kemudian dikenal dengan nama BPUPKI. BPUPKI dibentuk oleh Pemerintah Jepang di Indonesia pada 29 April 1945 (bukan 1 Maret 1945 sebagaimana banyak disebut dalam buku-buku sejarah) dengan tugas menyusun rancangan UUD bagi Indonesia yang saat itu dijanjikan akan segera diberi kemerdekaan.
[11] Selain itu dibentuk juga Panitia Pembelaan Tanah Air yang diketuai Abikusno Tjokrosujoso, serta Panitia Keuangan dan Perekonomian yang diketuai Moh. Hatta. Muhammad Yamin tidak termasuk dalam keanggotaan panitia apapun meskipun sebelumnya sudah ada usulan agar Yamin masuk ke Panitia Hukum Dasar mengingat Yamin paham soal hukum dasar. Oleh Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, Yamin malah ditunjuk masuk ke Panitia Keuangan dan Perekonomian, namun Yamin menolak dengan alasan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang pekerjaan itu. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 292-293.
[12] Sidang Pleno BPUPKI 1 Juni 1945 ditutup dengan kesepakatan membentuk Panitia 8 yang diketuai Soekarno dengan tugas menginventarisasi berbagai usul yang muncul dan berkembang dalam sidang pleno itu. Namun kemudian Soekarno membentuk Panitia 9 yang merupakan panitia tidak resmi ketika ada pertemuan 38 orang anggota Cuo Sabg in pada 18-21 Juni 1945 di Jakarta. Panitia 9 bekerja untuk mencari rumusan kompromistis yang bisa diterima oleh semuanya secara mufakat untuk disahkan pada pleno BPUPKI bulan Juli.
[13] Ini adalah bunyi Pasal 28 Rancangan UUD ketiga. Pada Rancangan Undang-Undang Dasar Pertama, ketentuan ini diletakkan dalam Pasal 29, bunyinya Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat menurut agama masing-masing. Pada Rancangan Kedua setelah diperbaiki oleh Panitia Penghalus bahasa, ketentuan agama diletakkan dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2). Ayat (1) berbunyi Negara berdasarkan atas keTuhanan dengan menjalankan ibadah, ayat (2) menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing
[14] RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang …, Loc.Cit, hal. 415.
[15] Sama seperti BPUPKI, kata Indonesia dalam badan ini semula tidak ada karena nama aslinya Panitia Persiapan Kemerdekaan. PPKI dibentuk pada 12 Agustus 1945 yakni pada saat Radjiman, Soekarno dan Hatta diterima oleh Jenderal Terauchi Hisaichi di Saigon yang sekaligus melantik Soekarno sebagai ketuanya. Adalah tidak tepat menyebut PPKI dibentuk pada 7 Agustus 1945. karena hari itu hanya pemberian izin dari Pemerintahan Jepang di Tokyo untuk mendirikan PPKI. Jika BPUPKI dibentuk untuk menyiapkan rancangan UUD, maka PPKI dibentuk untuk mengesahkan dan memberlakukannya dengan hak melakukan perubahan-perubahan sampai kesepakatan final tercapai. Selain itu PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan peralihan kekuasaan dari negeri jajahan menjadi negara merdeka. Lhat R.M. AB. Kusuma, Lahirnya Undang…, hal. 13.
[16] Saat itu, yang disahkan PPKI adalah Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh (37 pasal), Aturan Peralihan (4 pasal), dan Aturan Tambahan (2 butir angka), dan belum ada Penjelasan. Penjelasan, yang kelak dikenal dengan penamaan Penjelasan UUD 1945, baru dimunculkan kurang lebih enam bulan kemudian, dimuat dalam Berita Repoeblik Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946.
[17] Perdebatan hanya soal redaksional agar ketentuan yang dicantumkan smooth dan tidak menimbulkan kesan berbeda, sementara substansi sama yakni gagasan untuk mengakomodir kebebasan beragama terhadap setiap warga negara, meskipun waktu umat Islam menjadi mayoritas.
[18] Konstitusi Amerika misalnya,  menjamin kemerdekaan beragama karena pada waktu membuat konstitusi terdapat aliran yang memaksa orang untuk memeluk agama yang dijalankan Raja Inggris (Raja Stuart).
[19] Op.Cit., hal. 359.
[20] Contoh konkrit lainnya adalah Vietnam dimana kebebasan beragama, termasuk untuk tidak beragama, telah diatur dalam Konstitusi 1959 dan Konstitusi 1992. Salah satu pasal Konstitusi 1992 yang masih berlaku sampai saat ini menyatakan,bahwa setiap warganegara memiliki hak untuk bebas beragama baik menjadi pengikut agama maupun tidak menjadi pengikut agama.
[21] Ketika menjadi Menteri Agama pada 1980-an, Alamsyah Ratuprawiranegara sering mengatakan bahwa Pancasila merupakan hadiah dari umat Islam karena dilahirkan dari pengorbanan umat Islam untuk menghapus Piagam Jakarta, dan kerelaan untuk tidak memaksakan berdirinya Negara Islam meskipun umat Islam adalah mayoritas.
[22] Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2) menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
[23] Penyesuaian konsep dan praktek hak asasi manusia ini sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yakni setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
[24] Mohammad Noor Syam, Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan dalam Konggres Pancasila yang diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1 Juni 2009 di Kampus UGM, Yogyakarta.
[25] Lukman Hakim Saefuddin, Indonesia adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009.
[26] Sebagaimana dikutip Jawahir Thontowi, Hak Konstitusional Perda Syariat Islam, Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panel "Pro dan Kontra PERDA Syariah", diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Agama Islam-Magister Studi Islam UII, pada Sabtu, 20 Agustus 2006 di Kampus FIAI UII, Yogvakarta.
[27] Jika dicermati, hal ini pernah ditegaskan Soekarno saat menyampaikan pidatonya di hadapan anggota BPUPKI pada 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia Merdeka atau ideologi bangsa Indonesia, terutama saat mengemukakan dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan.
[28] UU Nomor 1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres bukanlah bentuk perundang-undangan sebagaimana  diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum “jadi-jadian” yang pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59, 20 Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59, 26 November 1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
[29] Sebagaimana dikutip Jawahir Thontowi, Hak Konstitusional…, Ibid.