Pendahuluan
Tidak ada pakar, ahli atau pembicara
dalam seminar-seminar yang tidak meyakini atau menolak bahwa UUD 1945 pada
dasarnya telah mengakui dan memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Secara eksplisit, soal kebebasan beragama telah jelas dan tidak
perlu diperdebatkan lagi karena telah diamanatkan oleh UUD 1945. Dua pasal dalam
konstitusi menyoal hal tersebut. Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas
menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal
28I UUD 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun. Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan konstitusi telah menjamin kebebasan
beragama sebagai prinsip yang sah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi
nyata bahwa negara dalam kondisi apa pun, tidak boleh mengurangi hak kebebasan
beragama sebagai hak intrinsik setiap warga negara. Dari sudut ini, kebebasan
beragama sudah absolutely clear.
Di Indonesia, pergeseran rezim
otoritarian menuju demokrasi jelas menjadi kabar sedap bagi kebebasan beragama,
berekspresi dan berasosiasi. Namun, sejauh
ini selalu saja bermasalah dalam implementasinya. Bahkan, ketika pemerintahan
sudah terbentuk melalui mekanisme demokratis, ternyata belum berdaya mengurangi
intensitas problem kebebasan beragama. Malah,
Indonesia
divonis sebagai pelaku diskriminasi dalam beragama, khususnya terhadap agama
minoritas. Secara kasat mata, diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan
yang mengakui hanya enam agama resmi.[3]
Orang atau komunitas di luar agama resmi selalu menjadi pihak yang dirugikan,
termasuk kelompok adat yang masuk kategori tidak beragama.[4]
Dalam kenyataan bahwa tanpa menyandang label agama resmi, seseorang akan sulit
menerima atau memperoleh pelayanan publik dan hak-hak sipil.[5]
Kasus pelanggaran prinsip kebebasan beragama
terus bermunculan. Di tengah arus kencang demokratisasi, pemasungan kebebasan
beragama justru makin marak. Aktualisasinya beragam, mulai dari ceramah atau
tulisan bernada menghujat kelompok tertentu, penutupan rumah ibadah, aksi
bersenjata, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan
mengikuti aliran agama utama hingga terbitnya fatwa-fatwa keagamaan yang justru
dianggap intoleran. Termasuk juga kejadian Nashr Hamid Abu Zayd, Guru Besar Universitas Leiden
Belanda asal Mesir, yang dicekal beberapa waktu lalu saat hendak berbicara di
Riau dan Malang.[6]
Kenyataan-kenyataan itu menguatkan incompatibilitas jaminan konstitusi atas
kebebasan beragama terhadap implementasi dalam kehidupan bernegara. Bagaimana
ini terjadi? Fenomena paling mengusik adalah jaminan konstitusi terhadap
kebebasan beragama di Indonesia menjadi tidak lebih dari “teks mati” yang lemah
dan sulit ditegakkan. Problematika itu ditengarai terkait erat dengan bias
tafsir atas pasal-pasal terkait dalam konstitusi. Tafsir yang bias menyaru
menjadi justifikasi bagi hampir seluruh peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama.[7]
Kondisi demikian pada gilirannya akan membuat konstitusi yang mestinya bersifat
legal-universal menyangkut kebebasan beragama, kian kentara rapuhnya. Menukil
ucapan Abbe de Sieyes, pakar konstitusi Prancis, konstitusi sebagai hukum tertinggi
berisi kewajiban-kewajiban untuk dipatuhi dan dilaksanakan, jika tidak ia tidak
akan berarti apapun. Kondisi konstitusi tanpa konstitusionalitas, akan dijumpai
dengan segenap eksesnya.
Menyoal kompleksitas masalah
kebebasan beragama di Indonesia
umumnya akan masuk pada tiga ranah yakni masalah
negara, hukum dan masyarakat sipil.[8]
Demikian juga tulisan ini, berbicara pada
ranah hukum dengan substansi lebih pada eksplorasi perspektif konstitusi
sebagai hukum tertinggi negara. Penting mengawali pembahasan melalui penelaahan
konsep yang diusung oleh founding people[9]
dalam meletakkan prinsip kebebasan beragama melalui jelajah historis. Di
samping itu, eksplorasi dan elaborasi terhadap terkait prinsip kebebasan
beragama baik dari sudut filosofis, yuridis formal maupun kebijakan hukum
dilakukan untuk turut memunculkan berbagai pemikiran yang memungkinkan
terciptanya jaminan kebebasan agama dan berkeyakinan sebagaimana dikehendaki
konstitusi. Tentu saja, pemikiran yang muncul itu dijauhkan dari alur yang
tidak sejalan dengan filosofi ideologi, konstitusi dan kondisi masyarakat Indonesia.
Jelajah Historis
Merunut historisnya,
pembahasan mengenai prinsip kebebasan beragama dalam konstitusi, diawali
setelah Rapat Besar BPUPKI[10] pada 11 Juli 1945 yang membentuk
Panitia Hukum Dasar dengan anggota 19 orang, dan diketuai oleh Soekarno.[11] Sore harinya, Panitia Hukum Dasar
menyelenggarakan rapat membicarakan hal-hal pokok yang hendak dituangkan dalam
hukum dasar. Atas kebijakan Soekarno, dalam panitia itu dibentuk lagi Panitia
Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang bertugas menyusun rancangan, Panitia
kecil itu beranggotakan 6 orang antara lain Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis,
Soepomo, Soekiman dan Agus Salim. Atas usul Wongsonagoro, Soepomo ditunjuk
sebagai ketua. Panitia Kecil ini segera bekerja, dan hasilnya sudah diperoleh
dalam waktu tiga hari.
Dalam rancangan preambule yang telah dihasilkan
sebelumnya oleh Panitia 9[12], ditegaskan bahwa kemerdekaan
kebangsaan Indonesia disusun ke dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang
terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada keTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pokok pikiran ke 5 rancangan
preambule itu jelas menunjukkan
perhatian terhadap keistimewaan penduduk yang beragama Islam, karena memang
mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Tetapi kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”
sudah dimufakati secara bulat melalui kompromi golongan kebangsaan (nasionalis)
dan golongan agama yang ada Panitia 9. Dalam Panitia 9 ini, perbandingan
golongan nasionalis dengan golongan Islam sejumlah 5:4. Artinya mufakat telah
tercapai dengan sedemikian rupa. Sehingga kemudian, dalam menyusun hukum dasar
harus mengacu pada rancangan preambule
itu, dan tidak lagi perlu mengadakan perubahan-perubahan.
Atas dasar kompromi
sebagaimana dalam rancangan preambule,
Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, akhirnya secara bulat menerima rancangan
hukum dasar Pasal 28 soal agama yang bunyinya:
(2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Rancangan Pasal 28 ayat (2)
mengundang tanggapan anggota Abdul Fatah Hasan dengan mengatakan sebaiknya kata
…”untuk memeluk agama lain” diganti
dengan kata “yang memeluk agama lain”, sementara
kata “dan” dihilangkan. Jadi bunyi
teks itu menjadi Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaan masing-masing.[14]
Menanggapi itu, Soepomo
mengatakan kalau usulan itu membuat makna ketentuan menjadi lebih jelas,
Panitia tidak keberatan untuk mengubahnya. Sempat terjadi perdebatan menanggapi
usulan itu, ada yang pro pada ketentuan awal, ada yang mendukung usul Abdul
Fatah Hasan. Akan tetapi kemudian mufakat tercapai setelah Soepomo memberi
rumusan ayat (2) itu menjadi Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Bunyi
ketentuan ini diterima secara bulat oleh forum, untuk kemudian dibawa ke sidang
Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia
(PPKI).[15]
Pada sidang pertama PPKI, 18
Agustus 1945, Soekarno selaku Ketua Panitia Hukum Dasar, membacakan rancangan
UUD itu pasal demi pasal, untuk dimintakan persetujuan forum.
Pasal-pasal lain
mengalami perubahan di sana
sini, sebelum dicapai mufakat. Sementara Pasal 29 yang dibacakan Soekarno dan
kemudian disetujui forum berbunyi, ayat (1) Negara
berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayannya itu. Ketentuan
Pasal 29 itu termasuk dalam Rancangan UUD hasil kerja BPUPKI yang setelah
dilakukan beberapa perubahan akhirnya disahkan sebagai undang-undang dasar
negara oleh PPKI pada hari itu juga[16]:
Berdasarkan jelajah
historis, beberapa kesimpulan dapat ditarik terkait konsep apa yang diusung founding people. Pertama, pembahasan mengenai kebebasan beragama relatif lancar,
artinya tidak dijumpai perdebatan sengit berarti dalam soal substansi.[17] Hal ini menandakan bahwa, boleh jadi
pada saat itu telah terdapat kehendak kuat para perancang UUD untuk meletakkan
dasar kebebasan beragama di Indonesia.
Ada kesamaan
visi bahwa kebebasan beragama harus diakomodir dalam konstitusi yang sedang
mereka kerjakan, dengan mengingat kondisi bangsa yang memiliki latar antropologis dan kesadaran akan pluralisme atau
kebhinekaan. Pluralitas,
kemajemukan dan keberagaman terutama soal agama, disadari menjadi penyokong
kelahiran sebuah negara baru, Indonesia.
Kedua,
meskipun diliputi suasana kebatinan di tengah kenyataan bahwa Islam merupakan
agama mayoritas di Indonesia
tetapi kelompok-kelompok Islam tidak berkeinginan sedikitpun untuk mewujudkan
hukum yang eksklusif bagi orang Islam sendiri.[18]
Founding people justru mengusung
konsep yang jauh dari keinginan membatasi kemerdekaan penduduk untuk beragama
lain, selain Islam sehingga perlu memberi jaminan dalam konstitusi bagi
tiap-tiap penduduk untuk secara merdeka memeluk agama apapun dan beribadat
menurut agama serta kepercayaannya masing-masing.[19]
Ketiga,
frase ……untuk
memeluk agamanya dan kepercayaannya itu
menegaskan bahwa konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diusung
founding people mengandung konotasi
positif. Artinya, mereka menjamin warga negara untuk memeluk agama dan tidak
membuka peluang bagi ateisme atau propaganda anti agama di Indonesia. Ini jelas berbeda dengan
pemahaman Sir Alfred Denning mengenai konsep freedom of religion di AS, baik dalam arti positif maupun negatif.
Denning mengungkapkan bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah
atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama
Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama.[20]
Manifestasi Nilai
Dasar dalam Konstitusi
Hukum, termasuk juga
konstitusi, merupakan jalinan nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi abstrak
tentang apa yang dianggap baik dan buruk oleh manusia sebagai zoon politicon. Hukum sebagai jalinan
nilai dikelompokkan ke dalam nilai-nilai dasar yang sangat abstrak serta
nilai-nilai yang lebih konkrit sebagai pedoman bertingkah laku dalam kehidupan
masyarakat manusia. Nilai dasar adalah
asas yang diterima sebagai dalil yang bersifat mutlak sekaligus diterima
sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia sebagai negara memiliki
keberagaman luar biasa, namun di balik keberagaman itu terdapat nilai-nilai
universal yang berlaku pada semua golongan atau kelompok. Saling menghormati,
tolong menolong, sopan santun adalah contoh nilai-nilai yang dianggap baik oleh
semua kalangan. Sebaliknya membunuh, mencaci, menganiaya, mencuri, memaksakan
kehendak adalah nilai-nilai yang diakui dimanapun sebagai sesuatu yang buruk
dan salah. Nilai-nilai
dasar umumnya dijumpai dalam kehidupan masyarakat berupa nilai-nilai agama
(ketuhanan) dan nilai-nilai hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan
bernegara.
Di Indonesia, nilai-nilai
yang demikian telah menjadi konsensus nasional dalam bentuk lima dasar yaitu Pancasila. Secara historis, Pancasila
yang ada dan berlaku merupakan hasil kompromi (modus vivendi) golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam
pada 22 Juni 1945. Pancasila itu sesungguhnya hasil karya Panitia Sembilan yang
berintikan ide dan dimotori Soekarno dengan hanya mengganti sila Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Andai saja pada 18 Agustus 1945, PPKI tidak mengubah
Mukaddimah UUD yang telah disahkan pada Sidang BPUPKI pada 10-16 Juli 1945,
maka pemberlakuan syari’at Islam sebagai sumber hukum formal akan dilakukan
tanpa kesulitan.
Mukaddimah UUD yang disahkan BPUPKI memuat
Piagam Jakarta sebagai dasar negara yang sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun,
khusus menyangkut tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dibatalkan dan diubah oleh Sidang PPKI pada 18 Agustus
1945, sehingga sila pertama dasar negara berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Pencoretan tujuh kata itu meski kontroversial tetapi diterima sebagai blessing in disguised (berkah
terselubung) dalam merajut persatuan bangsa.[21]
Kompromi ini jelas menunjukkan kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara
kebangsaan yang religius dengan menjadikan ajaran agama (tidak hanya Islam)
sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan negara.
Pancasila bukan lain
merupakan jalinan nilai-nilai dasar kristalisasi berbagai nilai yang hidup (volkgeist) dalam masyarakat bangsa Indonesia.
Jalinan nilai-nilai dasar yang tertuang dalam Alenia IV Pembukaan UUD 1945
dijabarkan ke dalam aturan dasar (hukum dasar) dalam bentuk pasal-pasal UUD
yang mencakup berbagai segi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Artinya, aturan, norma,
hukum dasar dalam UUD merupakan manifestasi yang secara substansi memuat dan
mencerminkan nilai-nilai dasar tersebut. Dengan kata lain, pasal-pasal UUD
semata-mata berisi nilai-nilai sebagai perincian atas nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam Pancasila.
Nilai dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, dirinci ke dalam norma, aturan, hukum
dasar yang tercermin ke dalam banyak pasal di UUD 1945. Nilai dasar itu
tidak semata-mata berdimensi teologis yang mengisyaratkan bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan kepercayaan
dan agamanya masing-masing, melainkan juga berdimensi politik. Implikasinya,
nilai dasar itu menuntut orang untuk mengembangkan sikap hormat-menghormati dan
bekerja sama antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, tidak memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada
orang lain, sebab agama dan kepercayaan adalah hal yang menyangkut hubungan
pribadi manusia dengan Tuhan sebagai Khaliq-nya.
Terkait kebebasan beragama,
Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945[22] mencerminkan nilai dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa dalam bentuk nilai yang lebih rinci yaitu kebebasan memeluk agama dan
menjalankan ibadah menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Di sini, beragama
dan segenap kemerdekaannya adalah hak setiap manusia. Hak itu merupakan
anugerah pemberian Tuhan dan melekat pada diri manusia semata-mata karena
dirinya sebagai manusia wajib menyembah Tuhannya. Hak kebebasan beragama dan berkepercayaan
merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi sedikit pun (non
derogable).
Namun dalam implementasinya tentu tidak bisa
seperti di Barat yang sekuler. Implementasi hak asasi manusia di Indonesia harus selaras dengan filosofi, budaya
serta struktur kemasyarakatan Indonesia
yang notabene religius.[23]
Dalam
konteks filsafati, pemenuhan hak asasi itu harus selalu berdasarkan kepada asas
keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia. Hak asasi manusia akan terpenuhi
manakala manusia juga menunaikan kewajiban asasinya. Dengan kata lain, tegaknya
hak asasi manusia ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan hak asasi dengan
kewajiban asasi, sekaligus sebagai penunjuk derajat moral dan martabat manusia.[24]
Nilai dasar itu diulang
kembali dalam bentuk lebih rinci pada Pasal 29 UUD 1945. Pasal itu menegaskan
soal tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan
menjalankan ibadah dan kepercayaannya masing-masing warga negara dan penduduk Indonesia.
Dalam konteks negara Indonesia
yang mengakui posisi penting agama, perlindungan terhadap kebebasan beragama
harus dipadukan dengan perlindungan terhadap kemurnian ajaran agama. Hal ini
berarti bahwa kebebasan beragama memang dijamin, tetapi kebebasan beragama
secara menyimpang tidak dapat dibenarkan. Tanggung jawab negara terhadap agama
tidak hanya sebatas memberi perlindungan
kebebasan beragama kepada para pemeluk agama, tetapi juga memberikan pelayanan terhadap pemeluk agama
dan melindungi kemurnian ajaran agama dari penyelewengan atau penyimpangan.
Setiap warga negara harus patuh pada
ketentuan peribadatan yang berlaku pada agamanya masing-masing. Ritual
keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama segenap elemen penganutnya
harus turut mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam segala
aspeknya, selain harus memperteguh persatuan dan persaudaraan dan bukan malah
memicu konflik.[25]
Ini sejalan dengan Nathan Lerner yang mengatakan bahwa salah satu hak dalam
kebebasan beragama menurut, ialah hak untuk mendirikan dan memelihara harmonisasi
individu dan masyarakat, dalam kaitannya dengan persoalan keagamaan dan
kepercayaan, baik dalam level nasional dan juga internasional.[26]
Lebih
lanjut, nilai dasar dalam pasal di atas harus dimaknai bahwa negara
menjamin dan mengatur hubungan antar umat beragama agar tidak mengganggu
kehidupan bernegara. Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia
tetapi yang lebih pasti, negara berhak pula untuk mewajibkan penganut agama
apapun itu, untuk bersatu membangun negara dan bangsa.[27]
Oleh karenanya, kebebasan beragama dalam nilai dasar dalam konstitusi, tidak
sekedar berkutat pada persoalan apakah agama itu benar atau salah, melainkan
termaktub juga kesediaan untuk menghargai dan menerima keberadaan orang lain
yang berbeda keyakinan.
Aturan
Hukum soal Agama
Terkait kebebasan beragama di Indonesia,
problem yang mendapat perhatian adalah pada banyaknya ketentuan
perundang-undangan yang bermasalah dilihat dari perspektif kebebasan beragama.
Peraturan itu bermasalah, baik karena dinilai bertentangan dengan prinsip
kebebasan beragama maupun karena bertentangan antara dengan yang lain.
Karenanya, anakronisme perundang-undangan adalah masalah yang perlu segera
diselesaikan. Akan tetapi, harmonisasi maupun sinkronisasi aturan hukum di
bidang kebebasan beragama belum ditangani optimal, Padahal, bidang kebebasan
beragama, dan hubungan antarumat beragama sangat tergantung pada harmonisasi
tersebut.
UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan Penodaan Agama[28]
misalnya, adalah salah satu yang banyak dikritisi. Aturan itu pada pokoknya
melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama. Ketentuan itu jelas mengisyaratkan negara melindungi
warga negara Indonesia
melalui perlindungan atas penyalahgunaan dan penodaan agama, dan pada saat
bersamaan melarang aliran agama lain itu untuk tidak membuat penafsiran di luar
ajaran yang konvensional. Aturan itu selain dianggap bertentangan dengan
semangat kebebasan beragama menurut konstitusi, juga dinilai sebagai bentuk
intervensi negara yang sebenarnya tidak perlu.
Telah banyak gagasan yang muncul bahwa
perihal agama atau penodaan agama tidak perlu diatur oleh negara. Atau dengan
kata lain negara tidak semestinya mencampuri urusan keyakinan warga negaranya.
Kebijakan pemerintah yang hanya mengakui enam agama membuat para penganut agama
lain tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Malah ada
yang berkata kehidupan agama di Indonesia
lebih baik bila tanpa negara. Artinya, negara tidak perlu ikut campur mengatur
kehidupan beragama sebab negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak
baik. Adnan Buyung Nasution dalam suatu
diskusi pernah dengan bersemangat mengecam negara yang mencoba melakukan
intervensi ke dalam kehidupan agama. Negara, kata Buyung, tidak berhak
mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama
tertentu. Argumen yang mendukung gagasan itu, negara harus bersikap netral
terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan
atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin mendirikan
agama sendiri, itu tidak bisa dilarang oleh negara. Menurut pendukung gagasan
ini ketentuan yang menunjukkan intervensi negara terhadap sebagaimana UU No.
1/PNPS/1965 tidak lagi diperlukan. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah
hak yang melekat, tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda, dan tidak patut
dirampas.
Namun demikian, yang perlu
dipikirkan apakah kondisi tidak adanya pengaturan dari negara lebih menjamin
kebebasan beragama itu? Atau bukan malah akan berimplikasi lebih parah? Sebab,
tanpa aturan dari negara, akibatnya bukan tidak mungkin tindak-tindak kekerasan
justru meruak. Sebab, sensitifitas seseorang terhadap agama sangat besar,
terutama ketika agamanya dikritik apalagi ‘dinodai’’. Tidak adanya aturan
justru akan membuka peluang lenturnya penafsiran tentang apa yang dikatakan
sebagai penodaan agama. Orang akan dengan mudah membuat aturan yang semata-mata
disandarkan pada subyektifitas dan menurut ajaran agama masing-masing, dengan
standar keyakinan yang tentu berbeda. Akan dengan mudah terjadi fenomena
‘menghukum’ mereka yang dianggap sesat dan atau tidak sesuai mainstream, dengan dalih ‘dan cara-cara
yang ‘diperintahkan agama.
Mengingat kondisi itu, alternatif apa yang
musti dipilih? Sepakat agar negara tetap berperan mengatur dalam hal beragama
dan keyakinan, termasuk melakukan intervensi seperti selama ini atau setuju
dengan pendapat yang mengecamnya?
Indonesia
adalah negara yang tidak perlu lagi diragukan menerima dan mengakui kebebasan
beragama, bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan mengikat.
Agar semangat dalam konstitusi itu tetap terjaga, pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama tetap
diperlukan. Hanya saja, dalam membuat aturan
hukum termasuk aturan soal agama, perlu konsisten mengacu pada Pancasila yang
telah menggariskan empat kaidah penuntun hukum nasional. Kaidah-kaidah ini
tidak terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum (rechtside) dan harus dijadikan dasar dan
tujuan setiap hukum di Indonesia.
Kaidah-kaidah penuntun itu antara lain:
Pertama,
hukum Indonesia
harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun
ideologis. Hukum-hukum di Indonesia
tidak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi
wilayah maupun ideologi. Kedua,
hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Hukum di Indonesia
tidak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi juga
harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar. Ketiga, membangun keadilan sosial.
Tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan
terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap
yang lemah tanpa perlindungan negara. Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah
tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu
dimenangkan oleh yang kuat. Keempat,
membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak boleh mengistimewakan
atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan
agama. Indonesia
bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara
sekuler (yang tak peduli atau hampa spirit keagamaan). Hukum negara tidak dapat
mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara harus memfasilitasi,
melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan melaksanakan ajaran
agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.
Dalam menyusun aturan soal agama, kaidah
pertama dan keempat di atas harus diperhatikan, hukum Indonesia harus bertujuan dan
menjamin integrasi bangsa dan pada saat bersamaan membangun toleransi beragama
dan berkeadaban. Harus disadari, agama dalam arti keyakinan merupakan wilayah
privat sehingga negara tidak memiliki kewenangan untuk mengaturnya. Sehingga,
pengaturan terbatas pada bagaimana masing-masing orang mengekspresikan
keyakinannya supaya tidak merugikan atau melanggar hak orang lain. Aturan hukum
sebaiknya hanya mengatur kehidupan bersama, interaksi dan interelasi antar
warga negara yang berbeda agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Artinya, aturan hukum agama bukan dalam rangka mengatur kegiatan dan
kehidupan keagamaan secara individual dan internal komunitas pemeluk agama,
apalagi mengatur kegiatan keagamaan yang terkait dengan pengalaman, sakralitas
dan ritualitas menurut keyakinan masing-masing agama. Tidak boleh misalnya
negara membuat aturan hukum yang mewajibkan sesuatu yang sudah diwajibkan oleh
agama, atau sebaliknya, melarang sesuatu yang sudah jelas-jelas dilarang agama.
Agar lebih menjamin terbentuknya hukum soal
agama yang sesuai dengan kaidah-kaidah Pancasila, terutama kaidah pertama dan
keempat, maka prinsipnya negara boleh membuat pengaturan maupun pembatasan sekalipun terkait dengan
kebebasan bertindak atau freedom to act, tetapi tidak dalam soal hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam pengertian freedom to be.
Pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama semata-mata dalam rangka
memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan bentuk intervensi terhadap kebebasan
berpikir dan berkeyakinan.
Selain itu, yang juga
penting, elaborasi terhadap makna kebebasan,
sebagaimana termuat dalam konstitusi perlu dilakukan. Tujuannya agar pemahaman
terhadap kebebasan beragama tidak sempit atau keliru. Mencapai pemahaman yang
benar akan menghindarkan diri dari peluang membuat aturan hukum yang justru
tidak sejalan dengan Indonesia
sebagai Negara Pancasila.
Rincian mengenai kebebasan beragama telah
sering dijumpai, salah satunya dalam kovenan toleransi beragama PBB. Dalam
kovenan itu, jenis-jenis kebebasan beragama meliputi kebebasan memilih agama,
kebebasan pindah agama, kebebasan mendakwahkan agama tanpa paksaan dan
manipulasi, kebebasan menikah beda agama, kebebasan mendapatkan pendidikan
agama yang berbeda dari agama sendiri, kebebasan berorganisasi berdasarkan
agama, dan kebebasan orang tua memberikan pendidkian agama terhadap anak.
Artinya, kebebasan beragama, menurut memiliki batasan-batasan yang perlu
diperhatikan meliputi keselamatan publik, ketertiban umum, kesehatan, moral dan
susila. Dan terpenting, kebebasan beragama tidak boleh mengganggu hak orang
lain.
Hal itu sejalan dengan Nathan Lerner yang
merinci kebebasan beragama mencakup hak untuk beribadah dan berkumpul
sehubungan dengan agama atau keyakinannya, termasuk mendirikan dan memelihara
tempat-tempat beribadah, untuk mendirikan dan memelihara lembaga donor untuk
kemanusiaan, untuk membuat atau menggunakan tanda-tanda yaitu material yang
dikaitkan dengan upacara keagamaan, untuk menulis dan mempublikasikan dan
melakukan deseminasi dengan publikasi relevan di wilayahnya masing-masing,
memberikan pendidikan dan pengajaran atas anak-anak didik dan penganut,
mengumpulkan atau menerima derma sebagai bantuan keuangan, melatih atau memilih
menjadi para penyebar agamanya masing-masing dan memberlakukan hari libur untuk
istirahat, dan hak untuk mendirikan dan memelihara harmonisasi individu dan
masyarakat, dalam kaitannya dengan persoalan keagamaan dan kepercayaan, baik
dalam level nasional dan juga internasional.[29]
Dengan capaian pemahaman yang
elaboratif demikian, maka implementasi kebebasan beragama sebagaimana amanat
konstitusi tidak bergerak menjadi liar, unproporsional,
dan mengukuhkan politik identitas melainkan sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi konstitusional. Sebab, jangan sampai pemaknaan yang tidak tepat
terhadap kebebasan beragama justru menjadi rongrongan bagi demokrasi, khususnya
demokrasi konstitusional yang dengan berpeluh-peluh terus diikhtiarkan di Indonesia.
*****
Bahan Bacaan
Ahmad Suaedy, et.al., Islam, konstitusi, dan Hak Asasi Manusia : Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, Wahid Institute, Jakarta, 2009.
A
Qodri Azizy, Hukum Nasional, Ekletisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, Teraju
Mizan, Bandung, 2004.
Eka
Damaputera, Pancasila: Identitas dan
Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.
Jawahir
Thontowi, Hak Konstitusional Perda
Syariat Islam, Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panel "Pro dan
Kontra PERDA Syariah", diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Agama
Islam-Magister Studi Islam UII, pada Sabtu, 20 Agustus 2006 di Kampus FIAI UII,
Yogvakarta.
Laporan
tentang Tingkat Kebebasan Beragama Internasional (International Religious Freedom Report) Tahun 2004, 2007 dan 2008,
yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Laporan
Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2008 yang dipublikasikan SETARA Institute.
Lukman Hakim Saefuddin, Indonesia adalah Negara Agamis: Merumuskan
Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan
oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009.
Mohammad Noor Syam, Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai
Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan
dalam Konggres Pancasila yang diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1
Juni 2009 di Kampus UGM, Yogyakarta.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.
______________, Pengembangan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Makalah dalam
Seminar Nasional Formalisasi Syari’ah dalam Konteks Keindonesiaan: Tinjauan
Multi Disipliner, diselenggarakan dalam rangka Setengah Abad Universitas Islam
Bandung, Bandung, 28 Agustus 2008.
_______________, Pancasila sebagai Hasil Karya dan Milik Bersama, Makalah Pelengkap
atas naskah Keynote Speech pada
Konggres Pancasila yang diselenggarakan dalam bentuk kerjasama antara Mahkamah
Konstitusi dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 30 Mei 2009.
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta,
2004
Siti
Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan di Era Reformasi, Makalah yang disajikan pada Lokakarya
Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel
Borobudur Jakarta, 8 -11 Juli 2008.
[1] Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut
Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
[3] Tidak ada keputusan resmi pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi kecuali hanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Surat Edaran Mendagri itu seharusnya hanya berisi petunjuk tehnis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk tindasan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri.
[4] Misalnya Dayak Kaharingan di Kalimantan, komunitas
Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, Komunitas Sunda Wiwitan
di Jawa Barat, dan lain-lain, hanya karena keyakinan adat mereka berbeda dengan
mainstream mayoritas, banyak
mengalami tekanan sosial maupun hambatan-hambatan dalam menjalankan aktivitas
kesehariannya. Seperti misalnya setiap anak yang lahir tidak bisa memperoleh
akte kelahiran, pernikahan tidak bisa dicatatkan, KTP tidak diberikan. Semua
itu disebabkan karena mereka memegang adat yang telah turun-temurun di kalangan
mereka. Dikalangan penghayat kepercayaan diskriminasi dialami sejak proses
pengurusan akte kelahiran sampai akte kematian, bahkan sampai pemakaman..
[5] Laporan tentang Tingkat Kebebasan Beragama
Internasional (International Religious
Freedom Report) Tahun 2004 yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat. Data dibuat dalam dalam rentang 1 Juli 2003 sampai dengan 30 Juni 2004
itu menunjukkan Asia mendominasi negara yang tingkat kebebasan beragamanya
rendah. Laporan serupa di tahun 2007 masih menyatakan bahwa pelanggaran dan
diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia masih kerap terjadi dan
aksi kekerasan atas nama agama belum berhenti. Laporan itu menyebutkan beberapa
faktor yang mendorong munculnya diskriminasi dan pelanggaran terhadap kebebasan
beragama di Indonesia.
Di antaranya kurang tegasnya pemerintah dan tak adanya keinginan untuk mengubah
situasi tersebut. Dalam beberapa kasus, pemerintah malah membiarkan atau
mendiamkan saja kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama..
[6] Nashr
Hamid diundang ke Indonesia atas kerjasama Universitas Leiden dan Departemen Agama,
namun dicekal ketika ia sudah sampai di Surabaya. Bagi Nashr Hamid peristiwa
pencekalan ini merupakan kali kedua harus berhadapan dengan kaum fundamentalis.
Pertama, pada 1995 ketika Nashr dijatuhi hukuman murtad oleh pengadilan Mesir,
dan harus hijrah ke Belanda. Kedua di Indonesia, negeri yang oleh Nashr di
sanjung-sanjung dalam setiap seminar internasional karena masyarakatnya dikenal
toleran dan moderat.
[7] Pada 2008, SETARA Institute mencatat 367 tindakan
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam 265 peristiwa, lihat Laporan
Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2008 yang dipublikasikan oleh SETARA
Institute.
[8] Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi,
Makalah yang disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam
10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta,
8 -11 Juli 2008.
[9] Para pendiri negara biasanya disebut dengan founding fathers, namun agaknya sebutan
itu kurang tepat karena seakan-akan hanya mengakui bapak-bapak pendiri, padahal
dalam kenyataannya anggota BPUPKI dan/atau PPKI ada juga kaum perempuannya
sehingga sebutan founding people
menjadi lebih obyektif.
[10] Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia. Sebenarnya
kata Indonesia
semula tidak ada karena nama aslinya adalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan. Tetapi dalam berbagai studi dan pernyataan resmi penambahan kata Indonesia itu
diterima sehingga kemudian dikenal dengan nama BPUPKI. BPUPKI dibentuk oleh
Pemerintah Jepang di Indonesia pada 29 April 1945 (bukan 1 Maret 1945
sebagaimana banyak disebut dalam buku-buku sejarah) dengan tugas menyusun
rancangan UUD bagi Indonesia yang saat itu dijanjikan akan segera diberi
kemerdekaan.
[11] Selain itu dibentuk juga Panitia Pembelaan Tanah
Air yang diketuai Abikusno Tjokrosujoso, serta Panitia Keuangan dan
Perekonomian yang diketuai Moh. Hatta. Muhammad Yamin tidak termasuk dalam
keanggotaan panitia apapun meskipun sebelumnya sudah ada usulan agar Yamin masuk
ke Panitia Hukum Dasar mengingat Yamin paham soal hukum dasar. Oleh Radjiman
Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, Yamin malah ditunjuk masuk ke Panitia Keuangan
dan Perekonomian, namun Yamin menolak dengan alasan tidak memiliki pengetahuan
yang cukup tentang pekerjaan itu. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.
292-293.
[12] Sidang Pleno BPUPKI 1 Juni 1945 ditutup dengan
kesepakatan membentuk Panitia 8 yang diketuai Soekarno dengan tugas
menginventarisasi berbagai usul yang muncul dan berkembang dalam sidang pleno
itu. Namun kemudian Soekarno membentuk Panitia 9 yang merupakan panitia tidak
resmi ketika ada pertemuan 38 orang anggota Cuo Sabg in pada 18-21 Juni 1945 di
Jakarta. Panitia 9 bekerja untuk mencari rumusan kompromistis yang bisa
diterima oleh semuanya secara mufakat untuk disahkan pada pleno BPUPKI bulan
Juli.
[13] Ini adalah bunyi Pasal 28 Rancangan UUD ketiga.
Pada Rancangan Undang-Undang Dasar Pertama, ketentuan ini diletakkan dalam
Pasal 29, bunyinya Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat
menurut agama masing-masing. Pada Rancangan Kedua setelah diperbaiki oleh
Panitia Penghalus bahasa, ketentuan agama diletakkan dalam Pasal 28 ayat (1)
dan (2). Ayat (1) berbunyi Negara
berdasarkan atas keTuhanan dengan menjalankan ibadah, ayat (2) menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing.
[14] RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang …, Loc.Cit, hal. 415.
[15] Sama seperti BPUPKI, kata Indonesia dalam
badan ini semula tidak ada karena nama aslinya Panitia Persiapan Kemerdekaan.
PPKI dibentuk pada 12 Agustus 1945 yakni pada saat Radjiman, Soekarno dan Hatta
diterima oleh Jenderal Terauchi Hisaichi di Saigon yang sekaligus melantik
Soekarno sebagai ketuanya. Adalah tidak tepat menyebut PPKI dibentuk pada 7
Agustus 1945. karena hari itu hanya pemberian izin dari Pemerintahan Jepang di
Tokyo untuk mendirikan PPKI. Jika BPUPKI dibentuk untuk menyiapkan rancangan
UUD, maka PPKI dibentuk untuk mengesahkan dan memberlakukannya dengan hak
melakukan perubahan-perubahan sampai kesepakatan final tercapai. Selain itu
PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan
peralihan kekuasaan dari negeri jajahan menjadi negara merdeka. Lhat R.M. AB.
Kusuma, Lahirnya Undang…, hal. 13.
[16] Saat itu, yang disahkan
PPKI adalah Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh (37 pasal), Aturan Peralihan (4
pasal), dan Aturan Tambahan (2 butir angka), dan belum ada Penjelasan.
Penjelasan, yang kelak dikenal dengan penamaan Penjelasan UUD 1945, baru
dimunculkan kurang lebih enam bulan kemudian, dimuat dalam Berita Repoeblik
Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946.
[17] Perdebatan hanya soal redaksional agar ketentuan
yang dicantumkan smooth dan tidak
menimbulkan kesan berbeda, sementara substansi sama yakni gagasan untuk
mengakomodir kebebasan beragama terhadap setiap warga negara, meskipun waktu
umat Islam menjadi mayoritas.
[18] Konstitusi Amerika misalnya, menjamin kemerdekaan beragama karena pada
waktu membuat konstitusi terdapat aliran yang memaksa orang untuk memeluk agama
yang dijalankan Raja Inggris (Raja Stuart).
[19] Op.Cit.,
hal. 359.
[20] Contoh konkrit lainnya adalah Vietnam dimana
kebebasan beragama, termasuk untuk tidak beragama, telah diatur dalam Konstitusi
1959 dan Konstitusi 1992. Salah satu pasal Konstitusi 1992 yang masih berlaku
sampai saat ini menyatakan,bahwa setiap warganegara memiliki hak untuk bebas
beragama baik menjadi pengikut agama maupun tidak menjadi pengikut agama.
[21] Ketika menjadi Menteri Agama pada 1980-an,
Alamsyah Ratuprawiranegara sering mengatakan bahwa Pancasila merupakan hadiah
dari umat Islam karena dilahirkan dari pengorbanan umat Islam untuk menghapus
Piagam Jakarta, dan kerelaan untuk tidak memaksakan berdirinya Negara Islam meskipun
umat Islam adalah mayoritas.
[22] Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2)
menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
[23] Penyesuaian konsep dan praktek hak asasi manusia
ini sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yakni setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
[24] Mohammad Noor Syam, Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD
Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan dalam Konggres Pancasila yang
diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1 Juni 2009 di Kampus UGM, Yogyakarta.
[25] Lukman Hakim Saefuddin, Indonesia adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara
dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di
Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009.
[26] Sebagaimana dikutip Jawahir Thontowi, Hak Konstitusional Perda Syariat Islam,
Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panel "Pro dan Kontra PERDA
Syariah", diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Agama Islam-Magister Studi
Islam UII, pada Sabtu, 20 Agustus 2006 di Kampus FIAI UII, Yogvakarta.
[27] Jika dicermati, hal ini pernah ditegaskan Soekarno saat menyampaikan
pidatonya di hadapan anggota BPUPKI pada 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia
Merdeka atau ideologi bangsa Indonesia, terutama saat mengemukakan dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan.
[28] UU
Nomor 1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres
bukanlah bentuk perundang-undangan sebagaimana
diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum “jadi-jadian” yang
pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor
2262/Hk/59, 20 Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59,
26 November 1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari
kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar