Oleh: Dr. Adian Husaini (Pakar pemikiran Islam, Mantan Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah)
Selama bulan
Ramadhan 1430 Hijriah, sejumlah diskusi tentang Muhammadiyah digelar
di berbagai tempat. Beberapa diantaranya sempat saya hadiri. Pada 5
September 2009 saya menghadiri diskusi yang diselenggarakan oleh
Pengurus Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta. Diskusi itu membahas topik
Muhammadiyah antara Serbuan Fundamentalisme dan Liberalisme. Pada 10
September 2009, kembali saya menghadiri diskusi tentang Muhammadiyah
dan Wahabi di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta.
Menyusul
terjadinya bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu
lalu, wacana tentang RADIKALISME keagamaan kembali mencuat.
Radikalisme dianggap sebagai biang keladi munculnya terorisme. Orang
menjadi teroris, menurut pendapat ini, karena dia beragama secara
radikal. Maka, supaya tidak menjadi teroris, dilakukanlah proses
“deradikalisasi”. Diskusi tentang masalah ini semakin marak, setelah
mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono secara terbuka menunjuk paham Wahabi
dan Ikhwanul Muslimin sebagai paham keras yang ada kaitannya dengan
aksi terorisme.
Kebetulan, Hendropriyono juga baru saja
lulus doktor di Universitas Gadjah Mada. Dalam disertasi doktornya di
Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Terorisme dalam Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional.”
AM Hendropriyono antara lain menulis: “Fundamentalisme yang
diusungnya (al-Qaidah) hanya ingin menegaskan otoritas keagamaan yang
bersifat holistik dan mutlak… bahkan Islam Indonesia menilai ancaman
yang sangat berbahaya adalah mengidentifikasi Islam dengan
fundamentalisme atau ideologi keras ala Wahabi atau Ikhwanul
Muslimin…” (hal. 4).
Lebih jauh Hendropriyono juga menulis:
Karenanya Gus Dur dan NU menyerukan perlawanan terhadap gerakan garis
keras Wahabi yang sudah melakukan infiltrasi dan terus kembangkan
sayapnya di Indonesia… adapun Wahabi yang secara intelektual dinilai
marginal berkembang menjadi signifikan bukan karena pemikirannya,
tetapi karena kekuasaan Raja Ibn Saud dan penerusnya. NU menolak
ideologi dan gerakan ekstrim bersifat trans-nasional tersebut. (hal.
5)… Din Syamsuddin keluarkan keputusan No. 149/kep/I.0/B/2006, agar
Muhammadiyah bebas dari paham, misi, politik dari luar.” (hal. 5).
Di
tengah tekanan politik dan opini global semacam itu, maka sebagian
kalangan Muslim berusaha “menyesuaikan diri”. Sejumlah negara dan LSM
Barat kemudian juga menawarkan dana untuk proses de-radikalisasi
Islam. Tentu saja, di tengah kesulitan ekonomi yang melanda bangsa
Indonesia, dana-dana itu terlalu menggiurkan untuk ditolak oleh
sebagian kalangan. Sejumlah organisasi dan tokoh Islam lalu
meluncurkan pernyataan, bahwa mereka adalah muslim moderat. Mereka
tidak termasuk radikal dan tidak termasuk juga liberal. Dalam berbagai
artikel, saya sudah mengusulkan, agar perkataan radikal diganti dengan
istilah “ekstrim”, sebab kata “ekstrim” memang ada padanannya dalam
Islam, yaitu tatharruf atau ghuluw. Keduanya, berarti tindakan yang melampaui batas-batas syariat Islam.
Tidak
dapat dipungkiri, ada sebagian kalangan Muslim yang bersikap ekstrim
dalam memahami dan menjalankan agamanya. Ada yang dengan mudah
mengkafirkan orang Islam lain, hanya karena perbedaan masalah furu’iyyah.
Orang yang terlibat dalam pemilu, meskipun dengan niat untuk
memperjuangkan Islam, dicap sebagai kaum musyrik. Tapi, ada juga
kelompok – biasanya menyebut dirinya liberal – yang tidak mau lagi
membedakan antara mukmin dan kafir. Bagi kelompok ekstrim jenis ini,
semua agama sama saja. Baik beragama Islam atau beragama apa saja, dia
pandang sama saja. Yang penting baginya adalah “agama kemanusiaan”.
Padahal, dalam Al-Quran jelas-jelas dibedakan antara orang mukmin dan
orang kafir. Orang mukmin disebut sebagai “khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk); sedangkan orang kafir disebut “syarrul bariyyah” (seburuk-buruknya makhluk).
Dalam
diskusi di PW Muhammadiyah Yogya ketika itu, saya menyampaikan, agar
kaum Muslim – khususnya warga Muhammadiyah – menyadari makna hakiki
dari ad-Dinul Islam yang berbeda dengan segala agama yang eksis saat
ini. Islam bukanlah agama budaya yang ajarannya tunduk kepada kondisi
budaya setempat. Perbedaan hakikat Islam dengan agama lain inilah yang
menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang memiliki ritual yang
tidak berkembang sepanjang zaman. Keyakinan akan kebenaran dan
keunikan Islam ini sama sekali tidak membenarkan kaum Muslim untuk
bersikap tidak toleran terhadap pemeluk agama lain. Kaum Muslim pun
juga diminta menghormati keyakinan agama lain, meskipun keyakinan
mereka juga mengklaim kebenaran atas ajaran agama mereka sendiri.
Jika
kita mencermati sejarah pendirian Muhammadiyah, tampak, bahwa dengan
berdasarkan keyakinan terhadap Islam yang sangat kokoh itulah, KH
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah1330 H atau 18
November 1912 M. Menurut Alwi Shihab, dalam bukunya Membendung Arus, Muhammadiyah
didirikan sebagai respon terhadap (1) praktik keagamaan yang dinilai
menyimpang dari ajaran Islam, (2) gerakan Kristenisasi dan (3) gerakan
Free Mason. (Lihat, Alwi Shihab, Membendung Arus: Repons Gerakan
Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (1998).
Jadi, sejak awal, Muhammadiyah bukan hanya peduli pada soal takhayul, bid’ah dan khurafat, tetapi juga sadar akan tantangan Kristenisasi dan liberalisasi yang diusung oleh Freemason. Kelompok terakhir ini terkenal dengan jargonnya: liberty, egality, dan fraternity. Freemason mulai
beroperasi di Indonesia tahun 1764 dan dibubarkan oleh Bung Karno
pada tahun 1961. Organisasi inilah yang rajin menggelorakan semangat
dan slogan “Freedom” di berbagai penjuru dunia.
Sejak awal
pendiriannya, Muhammadiyah sadar benar akan tantangan semacam itu.
Maka, hingga saat ini, dengan keyakinan yang kuat itulah, warga
Muhammadiyah – melalui Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah, menyatakan,
bahwa “Muhammadiyah berasas Islam” (pasal 4). Sedangkan tujuan
organisasi atau persyarikatan Muhammadiyah adalah tegas dan lugas:
“Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.” (pasal 6).
Dari Anggaran Dasar Muhamadiyah
sendiri, dapat ditarik sejumlah pokok pikiran/prinsip/pendirian,
yaitu (1) Hidup manusia harus berdasar Tauhid (meng-Esakan) Allah;
beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada Allah. (2) Hidup itu
bermasyarakat. (3) Hanya hukum Allah yang sebenar-benarnyalah
satu-satunya yang dapat dijadikan sendi untuk membentuk pribadi yang
utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (masyarakat) dalam menuju
hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki, di dunia dan akhirat. (4)
Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib, sebagai ibadah
kepada Allah berbuat ihsan dan islah kepada manusia/masyarakat. (Pokok
pikiran keempat ini dirumuskan dalam Muqaddimah AD Muhammadiyah
sebagai berikut: Menjunjung tinggi hukum Allah lebih dari pada hukum
yang manapun juga adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang
mengaku bertuhan kepada Allah. Agama Islam adalah agama Allah yang
dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw
dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup
bahagia dunia dan akhirat). (5) Perjuangan menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, hanyalah akan dapat berhasil bila mengikuti jejak
(ittiba’) perjuangan para nabi terutama perjuangan Nabi Muhammad saw.
(6) Perjuangan mewujudkan pokok pikiran tersebut hanyalah akan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan berhasil, bila dengan cara
berorganisasi. Organisasi adalah satu-satunya alat atau cara
perjuangan sebaik-baiknya.
Kuatnya visi dan misi keislaman
Muhammadiyah dapat disimak dalam dokumen penting dalam Muhammadiyah
yang disebut “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH)
Muhammadiyah”, yang antara lain menegaskan:
1. Muhammadiyah adalah Gerakan berasas Islam, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad saw, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: al-Quran dan Sunnah Rasul.
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: aqidah, akhlak, ibadah, muamalah duniawiyat. (Penjelasan: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan churafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam…).
5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfilsafat Pancasila, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhai Allah SWT.
Demikianlah
sekilas gambaran tentang Muhammadiyah. Apakah Muhammadiyah ada
hubungannya dengan Wahabi? Tidak dapat dipungkiri, bahwa Gerakan
Pembaruan di Timur Tengah, terutama yang dilakukan oleh Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran dan
gerakan pendiri Muhammadiyah KH A. Dahlan. Rasyid Ridha sendiri juga
banyak memberikan pembelaan terhadap pemikiran dan ajaran Muhammad bin
Abdul Wahhab yang oleh para seterunya dicap sebagai pembawa paham
Wahabi.
Di Indonesia, salah satu buku yang banyak
dijadikan rujukan di Indonesia dalam mendeskripsikan apa itu Wahabi,
adalah karya Prof. Dr. Harun Nasution, yang berjudul Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 2003, cet. Ke-14). Dalam buku ini dijelaskan
seputar gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad Abd Wahhab
(1703-1787), sebagai berikut:
1. Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain dari Tuhan telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik.
3. Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik.
4. Meminta syafaat selain kepada Tuhan juga syirik.
5. Bernazar kepada selain dari Tuhan juga syirik.
6. Memperoleh pengetahuan selain dari Alquran, Hadits dan qiyas (analogi) merupakan kekufuran.
7. Tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
8. Demikian pula menafsirkan Alquran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur. (hal. 15-17)
Sayangnya,
buku Prof. Harun Nasution ini sama sekali tidak menyebutkan rujukan
dari satu pun karya Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri. Cara penilaian
terhadap Wahabi semacam ini tentu saja tidak fair dan tidak ilmiah.
Sebuah buku yang baik dalam menyajikan pemikiran Muhammad bin Abdul
Wahab disusun oleh Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim. Buku itu
diberinya judul al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah. Buku
yang merupakan kumpulan karya dan surat-surat Muhammad bin Abdul
Wahhab ini menghimpun berbagai jawaban sang tokoh terhadap
tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Muhammad bin
Abdul Wahhab sendiri tidak pernah menamai ajarannya sebagai paham
“Wahabi”. Orang-orang di luar dirinya yang memberikan nama itu. Beliau
sendiri mengaku sebagai pemeluk mazhab Hanbali, sama dengan tokoh
sufi Abdul Qadir al-Jilani. Buku-buku ilmiah tentang Wahabi perlu
dikaji dengan serius agar tidak mudah memberikan gambaran yang keliru
tentang paham Wahabi. Kita boleh saja berbeda tentang beberapa hal
dengan mazhab atau kelompok lain. Tetapi, selama perbedaan itu masih
dalam batas-batas keislaman, seharusnya di antara sesama Muslim
terjalin sikap saling menghormati dan menghargai. NU dan Muhammadiyah,
misalnya, adalah dua organisasi Islam yang sama-sama menegaskan
komitmen kepada penegakan Islam. Perbedaan diantara keduanya masih
dalam batas-batas furu’iyyah.
Di tengah dominasi
paham sekularisme, liberalisme, materialisme, hedonisme, dan
sebagainya, sebagai salah satu pengurus Majlis Tabligh dan Dakwah
Khusus PP Muhammadiyah, saya hanya sempat berbagi harapan dengan
sesama warga Muhammadiyah, bahwa yang terpenting saat ini, seluruh
jajaran Muhammadiyah bersungguh-sungguh dan tetap istiqamah dalam
merujudkan tujuan Muhammadiyah, yaitu: “MENEGAKKAN DAN MENJUNJUNG
TINGGI AGAMA ISLAM SEHINGGA TERWUJUD MASYARAKAT ISLAM YANG
SEBENAR-BENARNYA.”.
Dan salah satu pesan KH A. Dahlan kepada
warga Muhammadiyah adalah: “Harus bersungguh-sungguh hati dan tetap
tegak pendiriannya (jangan was-was).” Juga, pesan Kyai Ahmad Dahlan
yang lain, “Jangan sentimen, jangan sakit hati, kalau menerima celaan
dan kritikan.” (Catatan: Paparan tentang Muhammadiyah ini dikutip dari
buku Ideologi dan Strategi Muhammadiyah karya Drs. H. Hamdan Hambali,
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2008, cetakan keempat).
Insyaallah,
dengan niat ikhlas dan kesungguhan dalam berjuang di jalan Allah,
kita mampu menjaga dan melanjutkan amanah KH Ahmad Dahlan dan seluruh
pejuang Islam di tubuh Muhammadiyah lainnya yang telah mempertaruhkan
diri, harta, dan lisan mereka dalam upaya mewujudkan masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya di bumi Indonesia tercinta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar