Minggu, 27 November 2011

PANCASILA: Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam

Oleh: DR. Adian Husaini
Pada 9 Juni 2009 lalu, saat berada di Kota Bandung, saya menemukan sebuah Tabloid Kristen, Reformata. Sebelumnya, sudah beberapa kali saya membaca tabloid ini, dalam beberapa edisinya. Dibandingkan media Kristen lainnya, Reformata lebih berani mengungkapkan aspirasi kaum Kristen secara lebih terbuka. Namun, kali ini, isinya cukup membuat saya terperangah. Saya nyaris tidak percaya apa yang saya baca. Pada edisi 103/2009 tersebut, Tabloid ini mempersoalkan penerapan syariat Islam. Para anggota DPR yang sedang menggodok RUU Makanan Halal dan RUU Zakat dikatakan akan meruntuhkan Pancasila dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan, Tabloid Kristen ini menuduh umat Islam Indonesia sedang berpesta pora melaksanakan syariat Islam di Indonesia saat ini.
”Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid tersebut.
Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata edisi tersebut menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesiaan melalui Perda dan UU. Cornelius meminta penyelenggara negara bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen. “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI,” kata Cornelius.
Bagi sebagian besar kaum Muslim tentu sulit memahami pemikiran dan sikap kaum Kristen di Indonesia semacam itu. Entah ini sikap sejati sebagai orang Kristen atau sikap politis untuk tujuan-tujuan tertentu. Wallahu A’lam. Hanya Allah yang tahu. Tapi, merenungkan isi tabloid tersebut, saya kemudian tergerak untuk melakukan penelitian yang agak serius tentang Pancasila dan UUD 1945, serta berbagai ragam penafsiran yang dikehendaki oleh para tokoh Islam, perumus Pancasila maupun para tokoh Kristen sendiri. Selama sekitar satu bulan kemudian, alhamdulillah, penelitian itu selesai dan saya tuangkan dalam bentuk buku berikut ini. Karena begitu singkatnya penelitian ini, pada satu sisi, saya cukup puas dengan hasilnya, tetapi pada sisi lain, sejalan dengan perkembangan informasi dan referensi yang terus bertambah, saya tentu saja belum puas, dan ingin mengembangkan penelitian ini lebih jauh lagi di masa yang akan datang.
Ketika buku ini sudah saya anggap cukup memadai untuk dibaca, saya menemukan lagi Tabloid Reformata edisi 110/2009, yang lagi-lagi, juga menghujat penerapan syariat Islam di Indonesia. Edisi kali ini mengangkat judul sampul: “RUU Diskriminasi Segera Disahkan.” Yang dimaksudkan adalah RUU Makanan Halal yang akan disahkan oleh DPR. Tabloid yang terbit menjelang Pilpres 2009 ini, menulis pengantar redaksinya sebagai berikut:
“Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diberlakukannya ”Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan itu lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam peraturan perundang-undangan. Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain. Apa pun alasannya, semua ini bertentangan dengan prinsip dasar negeri ini.”
Itulah kerasnya sikap sebagian kaum Kristen dalam menentang berlakunya syariat Islam di Indonesia. Bahkan, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), induk kaum Katolik di Indonesia, telah mengirimkan surat kepada para capres ketika itu. Isinya sebagai berikut: ”Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami menganjurkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk membatalkan 151 peraturan daerah ini dan yang semacamnya serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.”
Adalah aneh dan sungguh sulit dipahami, bahwa kaum Kristen masih mempersoalkan UU Perkawinan yang telah berlaku bagi umat Islam sejak tahun 1974. Aneh juga, kalau UU tentang Sisdiknas yang sudah disahkan oleh DPR dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tahun 2003 juga terus dipersoalkan, dan dianggap oleh kaum Kristen sebagai hal yang bertentangan dengan Pancasila. Sikap kaum Kristen di Indonesia inilah yang perlu dipahami oleh bangsa Indonesia. Meskipun minoritas tetapi mereka berani menyatakan sikap keagamaannya dengan tegas, jelas, dan enggan berkompromi.
Jika kita telusuri sikap kaum Kristen terhadap Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, kita akan menemukan gambaran yang lebih jelas. Secara umum, sulit dihindarkan pandangan umum, bahwa cara pandang kaum Kristen di Indonesia terhadap Islam dan umat Islam saat ini, masih belum bergeser banyak dari pandangan dan sikap kaum penjajah Belanda. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, pihak Kristen sudah berhasil memaksakan kehendaknya, sehingga pada 18 Agustus 1945, ”tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dihapus dari Piagam Jakarta. Umat Islam ketika itu terpaksa menerima, untuk menjaga keberlangsungan Negara Merdeka yang baru saja diproklamasikan satu hari sebelumnya. Piagam Jakarta kemudian dijadikan momok.
Di dalam buku Strategi Politik Nasional karya Ali Moertopo, (Jakarta: CSIS, 1974), digariskan strategi politik Orde Baru di bidang ideologi: ”Sesuai dengan Ketetapan-ketetapan MPRS Tahun 1966, khususnya mengenai kepastian Pancasila seperti yang termuat dalam Pembukaan UUD ’45, dan mengenai larangan terhadap PKI, Marxisme-Leninisme dan Komunisme, maka usaha-usaha untuk menyelewengkan Pancasila ke arah kiri telah dapat dicegah. Demikian pula usaha-usaha untuk menyelewengkan Pancasila ke arah kanan dengan memasukkan Piagam Jakarta sebagai dokumen hukum, dan secara lebih ekstrim untuk mendirikan negara Islam, juga telah diatasi, khususnya dalam Sidang MPRS ke-V meskipun di sana-sini masih disebut-sebut tentang Piagam Jakarta.”
Jadi, menurut Ali Moertopo yang pernah menguasai politik Orde Baru pada dekade 1970-an, usaha memasukkan Piagam Jakarta sebagai dokumen hukum disebut sebagai upaya untuk menyelewengkan Pancasila. Cara pandang yang a-historis dan tidak konstitusional seperti ini masih saja dipakai oleh sebagian kalangan pemeluk agama Kristen. Sayang sekali, para tokoh Kristen di Indonesia, masih belum bersedia menerima kenyataan sejarah dan hak konstitusional umat Islam, sehingga terus memproduksi pemahaman yang keliru, dan dalam beberapa hal bisa meningkatkan kebencian dan kecurigaan terhadap kaum Muslim di Indonesia, sehingga sering keluar ungkapan untuk memisahkan diri dari NKRI. Buku ini memaparkan secara jelas, bagaimana posisi Piagam Jakarta yang sebenarnya.
Jadi, selama beberapa dekade, kaum Kristen dan kaum Islamofobia lainnya berhasil menghegemoni penafsiran Pancasila, sehingga penafsiran Pancasila disalahpahami dan disalahpahamkan sebagai sebuah konsep sekular. Padahal, sejarah kelahiran Pancasila dan bunyi teks Pembukaan UUD 1945 – yang hanya beda 7 kata dengan Piagam Jakarta, dan merupakan sumber naskah Pancasila – sebenarnya sangat kental dengan nuansa pandangan-dunia Islam (Islamic worldview), bukan pandangan dunia sekular atau ateis. Para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pancasila, seperti KH Wahid Hasjim, Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo dan sebagainya, berhasil mempengaruhi rumusan tersebut, sehingga seharusnya mampu mencegah penggunaan Pancasila sebagai alat pemukul aspirasi umat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Insyaallah, buku ini sedikit banyak dapat mengklarifikasi kesalahpahaman atau penyalahpahaman terhadap Pancasila yang telah dilangsungkan selama berpuluh-puluh tahun. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi bangsa Indonesia, minimal bagi umat Islam sendiri, baik yang sedang menjadi rakyat maupun yang sedang mendapat amanah menjadi penguasa. Kita semua tentunya ingin memiliki andil untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, yang kuat, dan disegani dunia internasional. Meskipun, mungkin, pikiran dan jalan kita berbeda. Insyaallah, pintu dialog selalu terbuka. Berbeda-beda tetapi (yang benar) tetap satu jua!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar