Oleh: DR. Adian Husaini
Pada 9 Juni 2009 lalu, saat berada di Kota Bandung, saya menemukan
sebuah Tabloid Kristen, Reformata. Sebelumnya, sudah beberapa kali saya
membaca tabloid ini, dalam beberapa edisinya. Dibandingkan media Kristen
lainnya, Reformata lebih berani mengungkapkan aspirasi kaum Kristen
secara lebih terbuka. Namun, kali ini, isinya cukup membuat saya
terperangah. Saya nyaris tidak percaya apa yang saya baca. Pada edisi
103/2009 tersebut, Tabloid ini mempersoalkan penerapan syariat Islam.
Para anggota DPR yang sedang menggodok RUU Makanan
Halal dan RUU Zakat dikatakan akan meruntuhkan Pancasila dan
menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan, Tabloid
Kristen ini menuduh umat Islam Indonesia sedang berpesta pora
melaksanakan syariat Islam di Indonesia saat ini.
”Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa
aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas
kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu
berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan
yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid tersebut.
Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan
Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata edisi
tersebut menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan
dalam realitas ke-Indonesiaan melalui Perda dan UU. Cornelius meminta
penyelenggara negara bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen. “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI,” kata Cornelius.
Bagi sebagian besar kaum Muslim tentu sulit memahami pemikiran dan
sikap kaum Kristen di Indonesia semacam itu. Entah ini sikap sejati
sebagai orang Kristen atau sikap politis untuk tujuan-tujuan tertentu.
Wallahu A’lam. Hanya Allah yang tahu. Tapi, merenungkan isi tabloid
tersebut, saya kemudian tergerak untuk melakukan penelitian yang agak
serius tentang Pancasila dan UUD 1945, serta berbagai ragam penafsiran
yang dikehendaki oleh para tokoh Islam, perumus Pancasila maupun para
tokoh Kristen sendiri. Selama sekitar satu bulan kemudian,
alhamdulillah, penelitian itu selesai dan saya tuangkan dalam bentuk
buku berikut ini. Karena begitu singkatnya penelitian ini, pada satu
sisi, saya cukup puas dengan hasilnya, tetapi pada sisi lain, sejalan
dengan perkembangan informasi dan referensi yang terus bertambah, saya
tentu saja belum puas, dan ingin mengembangkan penelitian ini lebih jauh
lagi di masa yang akan datang.
Ketika buku ini sudah saya anggap cukup memadai untuk dibaca, saya
menemukan lagi Tabloid Reformata edisi 110/2009, yang lagi-lagi, juga
menghujat penerapan syariat Islam di Indonesia. Edisi kali ini
mengangkat judul sampul: “RUU Diskriminasi Segera Disahkan.” Yang
dimaksudkan adalah RUU Makanan Halal yang akan disahkan oleh DPR.
Tabloid yang terbit menjelang Pilpres 2009 ini, menulis pengantar redaksinya sebagai berikut:
“Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala
intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini
merasa gagal memperjuangkan diberlakukannya ”Piagam Jakarta”, kini
mereka membangun perjuangan itu lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan
nilai-nilai agama mereka ke dalam peraturan perundang-undangan. Kini
ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU
Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat
Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan
Pornoaksi, dan lain-lain. Apa pun alasannya, semua ini bertentangan
dengan prinsip dasar negeri ini.”
Itulah kerasnya sikap sebagian kaum Kristen dalam menentang
berlakunya syariat Islam di Indonesia. Bahkan, Konferensi Wali Gereja
Indonesia (KWI), induk kaum Katolik di Indonesia, telah mengirimkan
surat kepada para capres ketika itu. Isinya sebagai berikut: ”Untuk
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami menganjurkan
kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk membatalkan 151
peraturan daerah ini dan yang semacamnya serta tidak pernah akan
mengesahkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
konstitusi Republik Indonesia.”
Adalah aneh dan sungguh sulit dipahami, bahwa kaum Kristen masih
mempersoalkan UU Perkawinan yang telah berlaku bagi umat Islam sejak
tahun 1974. Aneh juga, kalau UU tentang Sisdiknas yang sudah disahkan
oleh DPR dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tahun 2003 juga terus
dipersoalkan, dan dianggap oleh kaum Kristen sebagai hal yang
bertentangan dengan Pancasila. Sikap kaum Kristen di Indonesia inilah
yang perlu dipahami oleh bangsa Indonesia. Meskipun minoritas tetapi
mereka berani menyatakan sikap keagamaannya dengan tegas, jelas, dan
enggan berkompromi.
Jika kita telusuri sikap kaum Kristen terhadap Pancasila dan UUD
1945, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, kita akan menemukan
gambaran yang lebih jelas. Secara umum, sulit dihindarkan pandangan
umum, bahwa cara pandang kaum Kristen di Indonesia terhadap Islam dan
umat Islam saat ini, masih belum bergeser banyak dari pandangan dan
sikap kaum penjajah Belanda. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia,
pihak Kristen sudah berhasil memaksakan kehendaknya, sehingga pada 18
Agustus 1945, ”tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya) dihapus dari Piagam Jakarta. Umat Islam ketika
itu terpaksa menerima, untuk menjaga keberlangsungan Negara Merdeka yang
baru saja diproklamasikan satu hari sebelumnya. Piagam Jakarta kemudian
dijadikan momok.
Di dalam buku Strategi Politik Nasional karya Ali Moertopo, (Jakarta:
CSIS, 1974), digariskan strategi politik Orde Baru di bidang ideologi:
”Sesuai dengan Ketetapan-ketetapan MPRS Tahun 1966, khususnya mengenai
kepastian Pancasila seperti yang termuat dalam Pembukaan UUD ’45, dan
mengenai larangan terhadap PKI, Marxisme-Leninisme dan Komunisme, maka
usaha-usaha untuk menyelewengkan Pancasila ke arah kiri telah dapat
dicegah. Demikian pula usaha-usaha untuk menyelewengkan Pancasila ke
arah kanan dengan memasukkan Piagam Jakarta sebagai dokumen hukum, dan
secara lebih ekstrim untuk mendirikan negara Islam, juga telah diatasi,
khususnya dalam Sidang MPRS ke-V meskipun di sana-sini masih
disebut-sebut tentang Piagam Jakarta.”
Jadi, menurut Ali Moertopo yang pernah menguasai politik Orde Baru
pada dekade 1970-an, usaha memasukkan Piagam Jakarta sebagai dokumen
hukum disebut sebagai upaya untuk menyelewengkan Pancasila. Cara pandang
yang a-historis dan tidak konstitusional seperti ini masih saja dipakai
oleh sebagian kalangan pemeluk agama Kristen. Sayang sekali, para tokoh
Kristen di Indonesia, masih belum bersedia menerima kenyataan sejarah
dan hak konstitusional umat Islam, sehingga terus memproduksi pemahaman
yang keliru, dan dalam beberapa hal bisa meningkatkan kebencian dan
kecurigaan terhadap kaum Muslim di Indonesia, sehingga sering keluar
ungkapan untuk memisahkan diri dari NKRI. Buku ini memaparkan secara
jelas, bagaimana posisi Piagam Jakarta yang sebenarnya.
Jadi, selama beberapa dekade, kaum Kristen dan kaum Islamofobia
lainnya berhasil menghegemoni penafsiran Pancasila, sehingga penafsiran
Pancasila disalahpahami dan disalahpahamkan sebagai sebuah konsep
sekular. Padahal, sejarah kelahiran Pancasila dan bunyi teks Pembukaan
UUD 1945 – yang hanya beda 7 kata dengan Piagam Jakarta, dan merupakan
sumber naskah Pancasila – sebenarnya sangat kental dengan nuansa
pandangan-dunia Islam (Islamic worldview), bukan pandangan dunia sekular
atau ateis. Para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pancasila,
seperti KH Wahid Hasjim, Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan
Abikusno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo dan sebagainya, berhasil
mempengaruhi rumusan tersebut, sehingga seharusnya mampu mencegah
penggunaan Pancasila sebagai alat pemukul aspirasi umat Islam di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Insyaallah, buku ini sedikit banyak dapat mengklarifikasi
kesalahpahaman atau penyalahpahaman terhadap Pancasila yang telah
dilangsungkan selama berpuluh-puluh tahun. Mudah-mudahan buku ini
bermanfaat bagi bangsa Indonesia, minimal bagi umat Islam sendiri, baik
yang sedang menjadi rakyat maupun yang sedang mendapat amanah menjadi
penguasa. Kita semua tentunya ingin memiliki andil untuk menjadikan
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, yang kuat, dan disegani
dunia internasional. Meskipun, mungkin, pikiran dan jalan kita berbeda.
Insyaallah, pintu dialog selalu terbuka. Berbeda-beda tetapi (yang
benar) tetap satu jua!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar