MELURUSKAN SEJARAH INDONESIA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tidak ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan
manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al-
Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta
bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam
menyongsong masa depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa
merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan
suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya,
Islam at the Crossroads, menulis: “No civilization can prosper – or even exist, after
having lost this pride and the connection with its own past…”
Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa
sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia.
Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya
yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah
Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu
(1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: “Kecenderungan ke arah
memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya
dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir
semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan
pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak
mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam
merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di
Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam
disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Ka’bah mencatat, bahwa
sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum
baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama
rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi
baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat
kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S.
Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik
supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.
Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den
Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yang
menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan
menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi
Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro,
Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam
seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa
diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa
diselesaikan dengan hukum Eropa.
Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan
adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya
terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk
Willem Christian yang mengemukakan teori ‘receptio in complexu’. Teori ini pada
intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-
19, teori ini masih berlaku. Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori
‘receptie’, yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia,
bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin
menyebut teori ‘receptie’ Snouck Hurgronje ini sebagai ‘teori Iblis’. (Lihat, Rifyal
Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).
Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari
masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku ’klasik’-nya, Islam and Secularism, Prof.
Syed Muhammad Naquib al-Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan sejarah
peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia
merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam
seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the
history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar
di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan
“bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh umat Islam.
Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam.
Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan
bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran
nasional. Al-Attas mencatat: “Together with the historical factor, the religious and
http://www.insistnet.com
3
language factors began setting in motion the process towards a national
consciousness.”
Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini sejak
lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda – yang kemudian diikuti oleh kaum
Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan penjajah berusaha
keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap
segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan
sebagi ideologi atau sumber tatatan hukum dan budaya bangsa.
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: ”Suara Azan
dan Lonceng Gereja”. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di
Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran
pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip
ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam,
”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te
emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari
genggaman Islam).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis
Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck
sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan
mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid
para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar
sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh
kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’, bahkan ada yang menyebutnya sebagai
”Mufti Hindia Belanda’.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini
meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi
tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan
radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.”
Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada
yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus
dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar
http://www.insistnet.com
4
menjadi liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai ’unsur asing’ dari bangsa
ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun,
unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam.
Kasus lain yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk
mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat dilihat pada
kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia. Pada tahun 1970-an, di
saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr.
Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A.
Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan
Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap
penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita
di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya
ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja
W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan
sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat
dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan
Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad
Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres
Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah
Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu
pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia,
Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang
pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri,
dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan
diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan
timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675.
Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We
Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir
http://www.insistnet.com
5
dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan,
mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih
dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada
tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan
modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya
menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk
ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mulamula
Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan
Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H.
Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar
memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan
kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de
Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor,
suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar,
seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP).
Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol
dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang
menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun
1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door
Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters
of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa
Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah
sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang
diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan
nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar
kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini
sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin
http://www.insistnet.com
6
tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan
Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakantindakan
mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak
mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang
mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebathebat
dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak
orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata
bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A.
Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira
sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk Indonesia. Bukan
sekedar bercita-cita. Dewi Sartika (1884-1947), misalnya, bukan hanya berwacana
tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang
belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat
di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama
di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan
Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang
sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di
negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah
lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini
dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana
menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri
sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio
(padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim
keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera
digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan
kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga
adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi
http://www.insistnet.com
7
pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum
era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah
memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini?
Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa
Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga
mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia
tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki
visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita
menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan
kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan
perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan
berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan
mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar,
penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan
menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh
Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki
kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara.
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya
kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck.
Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat
yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal
18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan
penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu
dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya
kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada
hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?”
Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau?
Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan
Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny.
R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno),
http://www.insistnet.com
8
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis
Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck
sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan
mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid
para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck
dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang
Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum
Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai
”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun
cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat
berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun
tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche
zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat
kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam
Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar
pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial
Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi
melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan
pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan
pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan
pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin
tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir
melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan
bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang
oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh
kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
http://www.insistnet.com
9
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam
menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam
Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk
menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan
semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi
kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat,
strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk
‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih
dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel.
Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban
Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret
Islam ke bawah orbit peradaban Barat.
Dan akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah
Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka sudah
kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan terputus dari serahnya.
Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi satelit dan pengekor pada peradaban
lain. Untuk itulah, kaum Muslim perlu sangat serius melihat sejarahnya sendiri dan
juga sejarah bangsanya. (***)
Tidak ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan
manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al-
Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta
bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam
menyongsong masa depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa
merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan
suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya,
Islam at the Crossroads, menulis: “No civilization can prosper – or even exist, after
having lost this pride and the connection with its own past…”
Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa
sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia.
Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya
yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah
Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu
(1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: “Kecenderungan ke arah
memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya
dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir
semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan
pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak
mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam
merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di
Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam
disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Ka’bah mencatat, bahwa
sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum
baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama
rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi
baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat
kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S.
Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik
supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.
Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den
Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yang
menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan
menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi
Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro,
Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam
seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa
diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa
diselesaikan dengan hukum Eropa.
Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan
adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya
terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk
Willem Christian yang mengemukakan teori ‘receptio in complexu’. Teori ini pada
intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-
19, teori ini masih berlaku. Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori
‘receptie’, yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia,
bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin
menyebut teori ‘receptie’ Snouck Hurgronje ini sebagai ‘teori Iblis’. (Lihat, Rifyal
Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).
Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari
masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku ’klasik’-nya, Islam and Secularism, Prof.
Syed Muhammad Naquib al-Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan sejarah
peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia
merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam
seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the
history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar
di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan
“bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh umat Islam.
Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam.
Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan
bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran
nasional. Al-Attas mencatat: “Together with the historical factor, the religious and
http://www.insistnet.com
3
language factors began setting in motion the process towards a national
consciousness.”
Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini sejak
lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda – yang kemudian diikuti oleh kaum
Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan penjajah berusaha
keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap
segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan
sebagi ideologi atau sumber tatatan hukum dan budaya bangsa.
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: ”Suara Azan
dan Lonceng Gereja”. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di
Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran
pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip
ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam,
”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te
emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari
genggaman Islam).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis
Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck
sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan
mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid
para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar
sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh
kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’, bahkan ada yang menyebutnya sebagai
”Mufti Hindia Belanda’.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini
meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi
tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan
radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.”
Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada
yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus
dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar
http://www.insistnet.com
4
menjadi liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai ’unsur asing’ dari bangsa
ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun,
unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam.
Kasus lain yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk
mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat dilihat pada
kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia. Pada tahun 1970-an, di
saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr.
Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A.
Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan
Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap
penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita
di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya
ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja
W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan
sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat
dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan
Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad
Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres
Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah
Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu
pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia,
Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang
pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri,
dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan
diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan
timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675.
Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We
Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir
http://www.insistnet.com
5
dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan,
mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih
dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada
tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan
modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya
menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk
ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mulamula
Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan
Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H.
Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar
memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan
kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de
Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor,
suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar,
seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP).
Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol
dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang
menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun
1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door
Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters
of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa
Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah
sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang
diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan
nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar
kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini
sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin
http://www.insistnet.com
6
tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan
Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakantindakan
mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak
mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang
mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebathebat
dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak
orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata
bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A.
Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira
sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk Indonesia. Bukan
sekedar bercita-cita. Dewi Sartika (1884-1947), misalnya, bukan hanya berwacana
tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang
belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat
di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama
di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan
Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang
sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di
negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah
lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini
dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana
menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri
sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio
(padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim
keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera
digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan
kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga
adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi
http://www.insistnet.com
7
pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum
era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah
memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini?
Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa
Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga
mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia
tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki
visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita
menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan
kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan
perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan
berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan
mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar,
penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan
menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh
Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki
kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara.
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya
kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck.
Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat
yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal
18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan
penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu
dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya
kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada
hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?”
Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau?
Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan
Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny.
R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno),
http://www.insistnet.com
8
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti
Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van
Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis
Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck
sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan
mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid
para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck
dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang
Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum
Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai
”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun
cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat
berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun
tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche
zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat
kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam
Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar
pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial
Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi
melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan
pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan
pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan
pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin
tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir
melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan
bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang
oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh
kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
http://www.insistnet.com
9
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam
menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam
Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk
menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan
semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi
kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat,
strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk
‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih
dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel.
Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban
Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret
Islam ke bawah orbit peradaban Barat.
Dan akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah
Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka sudah
kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan terputus dari serahnya.
Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi satelit dan pengekor pada peradaban
lain. Untuk itulah, kaum Muslim perlu sangat serius melihat sejarahnya sendiri dan
juga sejarah bangsanya. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar